PILIHAN LEKSIKAL DALAM CERPEN
Supriyono
STKIP PGRI Bandar
Lampung
Abstrak
Banyak
kalangan menyatakan bahwa hingga saat ini kehidupan perkembangan studi
apresiasi, atau kritik sastra di Indonesia belum mencapai puncak yang
menggembi-rakan. Pernyataan ini jika kita cermati tidaklah berlebihan karena
realita menunjuk-kan bahwa, seperti yang dapat kita amati dan rasakan selama
ini, keberadaan studi dan kritik sastra hanyalah bagai riak kecil di tengah
gelombang samudra luas karya sastra. Hal tersebut
terbukti, pada ruang publik sastra dan
budaya di berbagai majalah dan surat kabar. Nyata bahwa publikasi apresiasi sastra
hanya sekali muncul di tengah riuh rendah kehadiran karya sastra, misalnya
puisi atau cerpen.
Tulisan dalam makalah ini merupakan suatu wujud apresiasi terhadap karya sastra
(cerpen), yaitu mencoba menganalisis unsur-unsur leksikal yang dikemas dalam
sebuah stilistika pada sebuah cerpen. Dengan secara sederhana kelompok ini
menco-ba mengurai penggunaan kata-kata yang ada dalam cerpen yang dibahas,
serta meli-hat secara sepintas tentang stilistika yang ada di dalamnya.
Dari seluruh pembahasan akhirnya dapat disimpulkan bahwa
cerpen “Dinding Waktu” karya Danarto,
”Cincin Kawin” karya Danarto, ”Kartu Pos dari Surga” karya Agus
Noor, kaya akan gaya bahasa, baik gaya
bahasa berdasarkan struktur kata dan kalimat maupun gaya bahasa berdasarkan langsung tidaknya
makna. Pengarang mengunakan pilihan
leksikal secara tepat dengan memanfaatkan kosa kata yang bernuansa daerah di
samping untuk mempertegas alur cerita juga untuk menentukan aspek kultur yang
ada dsalam cerpen. Pilihan kata dalam cerpen ”Dinding Waktu” dan ”Cincin Kawin”
keduanya karya Danarto memiliki makna yang tinggi, karena kedua cerpen tersebut
tergolong dalam cerpen absurd. Sedangkan cerpen ”Kartu Pos dari Surga” karya
Agus Noor, menggunakan pilihan kata yang mampu mengilustrasikan kesan yang
mistis dalam alur cerita.
Kata Kunci: Pragmatik,
pendekatan pengajaran bahasa
PENDAHULUAN
Cerpen merupakan suatu hasil cipta sastra. Sastra merupakan suatu komunikasi seni yang hidup bersama bahasa. Tanpa bahasa, sastra tak mungkin ada. Melalui bahasa ia dapat mewujudkan dirinya berupa sastra lisan, maupun tertulis. Oleh karena perwujudan sastra menggunakan bahasa, maka orang sering bertanya; “Sifat dan warna bahasa yang bagaimanakah yang dipergunakan oleh sastra, khususnya dalam cerpen sehingga isi yang dibawakannya begitu sulit untuk dicerna ?”
Mengapa hasil-hasil sastra yang sampai pada kita
atau pembaca, isinya begitu menukik, dan begitu cantik? Jawabnya tak lain,
karena bahasa yang dipergunakannya jauh berbeda dengan bahasa yang terdapat
pada Ilmu Sejarah, Biologi, Geografi atau pun buku-buku sosial lainnya. Sifat bahasa pada ilmu-ilmu di atas pada
hakikatnya setiap kata bertugas menterjemahkan arti benda yang ditunjukkannya. Setiap kata hanya memiliki arti pusat yang
ditunjuk oleh kata itu. Antara kata dan benda yang ditunjuknya langsung
bersatu, tak berjarak. Jalan bahasanya
berdasarkan hukum akal, sebab akibat, karena setiap kata mengemban tugas yang
ketat yakni arti pokok yang disebut kata itu. Semuanya serba rasional. Penggunaan kata-kata seperti
ini dikenal dengan sebutan denotatif.
Pada sastra, tidak demikian. Sastra khususnya fiksi, di samping sering
disebut dunia dalam kemungkinan, juga dikatakan sebagai dunia dalam kata
(Nurgiyantoro, 1995:271). Sastra membawa bahasa dengan sifatnya sendiri. Selain menggunakan kata-kata yang bermakna
denotatif, dalam sastrapun banyak kita temukan kata-kata yang bermakna
konotatif. Melalui bahasa konotatif seseorang akan dapat mengungkapkan
perasaannya dengan suasana jiwa. Bahasa konotatif tidak mementingkan arti,
tetapi mementingkan bobot dan gaya serta keluasan tapsiran. Melalui gaya atau
stilistika seorang penulis cerpen akan mampu menggunakan kata-kata yang dapat
menimbulkan rasa empati, dan kesan imajinasi yang mendalam kepada para pembaca. Dengan kata-kata inilah
cerpen akan menunjukkan eksistensinya yang berbeda dengan karya nonfiksi.
Cerpen, cenderung menggunakan kedua cara berbahasa
di atas, tetapi yang paling dominan adalah penggunaan bahasa konotatif, yakni bahasa
yang mendukung emosi dan suasana hati. Setiap ungkapan di dalam hasil sastra,
kata-kata tidak hanya terikat oleh arti pusat saja, tetapi kadang-kadang
mempunyai arti imajinatif. Matahari
misalnya, kadang-kadang bukan matahari dalam arti fisik, tetapi matahari dalam
angan-angan, atau matahari yang lain.
Demikianlah karya sastra tercipta akibat pertemuan dunia batin pengarang
dengan dunia batin sumber ilham.
Karena itu kadang-kadang ungkapan-ungkapan dalan cerpen tidak lagi
tunduk pada hukum-hukum tata bahasa tetapi terpaksa menempuh jalannya sendiri
demi untuk mencapai tujuan keindahan yang dikejar oleh penulisnya. Dalam cerpen
kita akan dapat memasuki akal pikiran
dengan bahasa denotatif dan menuruni ke dalaman jiwa kita lewat bahasa
konotatif.
Berdasarkan uraian di atas, artikel ini akan membahas unsur-unsur leksikal yang terdapat dalam suatu cerpen.
Pengertian Cerpen
Cerita pendek adalah cerita yang membatasi diri dalam membahas salah
satu unsur fiksi dalam aspeknya yang terkecil (Sumardjo, 1984:69). Pendapat
yang lain me-ngemukakan cerpen adalah kisahan yang memberikan kesan tunggal
yang dominan tentang satu tokoh dalam satu latar dan satu situasi dramatic
(Zaidan, 2004:50).
Berdasarkan kedua pendapat di atas dapat dijabarkan bahwa kependekan
sebuah cerita pendek bukan karena bentuknya yang jauh lebih pendek dari novel,
tetapi ka-rena aspek masalahnya yang sangat dibatasi. Dengan pembatasan ini maka sebuah masalah
akan tergambarkan jauh lebih jelas dan jauh lebih mengesankan bagi
pem-baca. Kesan yang ditinggalkan oleh
sebuah cerita pendek harus tajam dan dalam, sehingga sekali membacanya kita tak
akan mudah lupa. Kalau sebuah cerita
pendek menggambarkan watak pelit seorang tokoh, misalnya, pengarang harus
mencerita-kannya secara ringkas, cermat, memilih adegan yang sangat penting
saja, sehingga sifat kepelitan itu muncul dengan jelas, jernih dan tajam. Inilah sebabnya sifat se-leksi amat penting dalam cerita
pendek. Segala sesuatunya harus
diseleksi secara cermat sehingga titik yang dituju cerita pendek menjadi
terfokus benar. Menulis ce-rita pendek
merupakan seni yang sulit. Cerita pendek
membutuhkan kepekaan penu-lisnya untuk bersifat ekonomi dan pemilih dalam
segala hal. Tidak boleh ada unsur yang
terbuang percuma dalam cerita pendek.
Struktur Leksikal
Yang dimaksud dengan struktur leksikal adalah bermacam-macam relasi
semantik yang terdapat pada kata.
Hubungan antara kata itu dapat berwujud:
sinonim, poli-semi, homonimi, hiponimi, dan antonimi (Keraf,
1985:34). Kelima macam relasi antara kata itu dapat dikelompokkan atas:
1)
relasi
antara bentuk dan makna yang melibatkan bersinonimi dan polisemi:
(a)
sinonimi:
lebih dari satu bentuk bertalian dengan satu makna.
(b)
polisemi:
bentuk yang
sama memiliki lebih dari satu makna.
2) relasi antara dua makna yang melibatkan hiponimi dan
antonimi:
(a)
hiponimi:
cakupan-cakupan
makna dalam sebuah makna yang lain.
(b)
antonimi:
posisi sebuah makna di luar sebuah makna yang lain.
3)
relasi
antara dua bentuk yang melibatkan homonimi, yaitu satu bentuk mengacu kepada
dua referen yang berlainan.
Secara lengkap Gorys Keraf
(1985:34-41) menjelaskan tentang kelima relasi antara kata itu sebagai berikut.
Sinonimi
Sinonimi adalah suatu istilah yang dapat dibatasi sebagai, (1) telaah mengenai
bermacam-macam kata yang memiliki makna yang sama, atau (2) keadaan di mana dua
kata atau lebih memiliki makna yang sama.
Sebaliknya,
sinonimi adalah kata-kata yang memiliki makna yang sama (syn = sama,
onoma = nama).
Dalam ilmu bahasa yang murni, sebenarnya tidak
diakui adanya sinonim-sinonim. Tiap kata
mempunyai makna atau nuansa makna yang berlainan, walaupun ada
ketumpang-tindihan antara satu kata dengan kata lain. Ketumpang-tindihan makna inilah yang membuat
orang menerima konsep sinonimi atau sinonim sebagai tujuan praktis guna
mempercepat pemahaman makna sebuah kata yang baru, yang dikaitkan dengan
kata-kata lama yang sudah dikenal.
Dengan demikian, proses perluasan kosa kata seseorang juga akan berjalan
lebih lancar.
Walaupun ada penolakan mengenai adanya sinonim ini,
ada juga ahli yang berpendi-rian bahwa bagaimana sekalipun ada juga kata-kata
yang benar-benar bersinonim. Kesinoniman kata dapat diukur dua kriteria
berikut:
(1)
Kedua
kata itu harus saling bertukar dalam semua konteks; ini disebut sinonim
total;
(2)
Kedua
kata itu memiliki identitas makna kognitif dan emotif yang sama; hali ini
disebut sinonim komplet.
Dengan kriteria ini dapat diperoleh empat macam sinonim, yaitu (1)
sinonim yang total dan komplet, yang dalam kenyataan jarang ada; dan
inilah yang dijadikan landasan untuk menolak adanya sinonim; (2)
sinonim yang tidak total tetapi komplet;
(3) sinonim yang total tetapi
tidak komplet; (4) sinonim yang tidak total dan tidak komplet,
semuanya tergantung dari sudut pemenuhan kedua kriteria di atas.
Dengan kriteria itu, kita masih menerima bahwa kata manipulasi bersinonim
dengan kecurangan, penggelapan, penimbunan, spekulasi. Namun tidak ada sinonim total dan komplet
antara dua kata atau lebih dari kata-kata yang bersinonim itu. Demikian pula bila dikatakan bahwa kata stabil
bersinonim dengan kata mantap, kuat, tak go-yah, tetap, kukuh, atau kata
senang bersinonim dengan kata puas, lega, tidak susah, tidak kecewa,
betah, berbahagia, suka, gembira, sukarela, girang, nyaman tidak ter-dapat
sinonim total dan komplet. Tetapi dari
perangkat kata-kata bersinonim itu, pasti ada yang termasuk dalam ketiga jenis
sinonim yang lain.
Sinonim tak dapat dihindari dalam sebuah bahasa; pertama-tama ia terjadi
karena proses serapan (borrowing). Pengenalan
dengan bahasa lain membawa akibat pene-rimaan kata-kata baru yang sebenarnya
sudah ada padanannya dalam bahasa sendiri.
Dalam bahasa Indonesia sudah ada kata hasil kita masih menerima
kata prestasi dan produksi; sudah ada kata jahat dan kotor
masih diterima kata maksiat; sudah ada kata karangan masih
dianggap perlu untuk menerima istilah baru risalah, artikel,
maka-lah, atau esei. Serapan
ini bukan hanya menyangkut referen yang sudah ada katanya dalam bahasa sendiri,
tetapi juga menyangkut referen yang belum ada katanya dalam bahasa
sendiri. Dalam hal ini sinonim terjadi
karena menerima dua bentuk atau lebih dari sebuah bahasa donor, atau menerima
beberapa bentuk dari beberapa bahasa do-nor seperti: buku, kitab, pustaka;
sekolah dan madrasah; reklame, iklan, adpertensi.
Penyerapan kata-kata daerah ke dalam bahasa Indonesia, juga menjadi
penyebab adanya sinonim. Tempat kediaman
yang berlainan mempengaruhi pula perbedaan kosa kata yang digunakan, walaupun
referennya sama. Kita mengenal kata tali
dan tambang, parang dan golok, ubi kayu dan singkong,
lempung dan tanah liat, dan sebagainya. Hampir sama dengan kelas sinonim ini adalah
sinonim yang terjadi karena pengambilan data dari dialek yang berlainan: tuli
dan pekak, sore dan petang, dan sebagainya.
Faktor ketiga yang menyebabkan
adanya sinonim adalah makna emotif (nilai rasa) dan evaluatif. Makna kognitif dari kata-kata yang
bersinonim itu tetap sama, hanya nilai evaluatif dan nilai emotifnya
berbeda: ekonomis − hemat − irit, dara
− gadis − perawan, kikir − pelit, ingin −
rindu − rindu − damba, sari − pati, mayat − jenazah − bangkai, mati − meninggal
− gugur − wafat − mangkat, penyair − pujangga, kuat − perkasa − gagah berani, dan
sebagainya.
Kata-kata bersinonim, di samping dapat dibedakan dari kriteria saling
bergantian da-lam konteks dan identitas kandungan makna kognitif dan emotifnya,
dapat juga di-adakan perbedaan lagi berdasarkan kolokasinya. Kata belia misalnya bersinonim dengan
kata taruna, remaja dan muda, tetapi kata yang boleh diikutinya
dan dida-huluinya tidak sama. Kita dapat
mengatakan: ia masih muda; ia masih
remaja; ia masih muda belia. Kita
mengakui bahwa kata pahit bersinonim dengan getir, tetapi kita
tidak dapat mengatakan bahwa obat itu sangat getir; kita dapat
mengatakan: obat itu sangat pahit, sementara
dapat diterima konstruksi: pengalaman
yang pahit dan pengalan yang getir.
Polisemi dan Homonimi
Bila dalam sinonimi kita berbicara mengenai beberapa kata yang memiliki
makna yang mirip, maka dalam polisemi kita mencatat kenyataan lain bahwa
ada sebuah kata dapat memiliki bermacam-macam arti (poly = banyak, sema
= tanda). Kata polisemi yang
berarti “satu bentuk mempunyai beberapa makna”, sangat dekat dengan sebuah
istilah lain, yaitu homonimi yaitu “dua kata atau lebih tetapi memiliki
bentuk yang sama”. Dalam pokisemi kita
hanya menghadap satu kata saja, sebaliknya dalam homonimi kita sebenarnya
menghadapai dua kata atau lebih.
Kata korban dalam KUBI (Kamus Umum Bahasa Indonesia)
dijelaskan sebagai memiliki makna
(1) pemberian untuk menyatakan
kebaktian, (2) orang yang menderita kecelakaan karena
sesuatu perbuatan, (3) orang yang meninggal karena tertimpa
bencana. Ketiga makna ini berdekatan
satu sama lain, dan dalam kamus biasanya ditempatkan di bawah satu topik yang
sama. Dari KUBI kita juga
mencatat data yang lain, yaitu nada kata bisa I yang berarti (1) zat
racun yang dapat menyebabkan luka, busuk atau mati pada sesuatau yang
hidup, (2) mengandung zat racun (berbisa), (3)
sesuatu yang pada buruk yang dapat merusak akhlak; dan bisa II yaitu berarti: dapat; boleh; mungkin. Contoh pertama di atas (korban) adalah
polisemi, dan contoh yang kedua (bisa I, bisa II) adalah
homonimi.
Untuk menetapkan apakah suatu bentuk itu merupakan polisemi atau homonimi,
kadang-kadang tidak selalu mudah.
Kamus-kamus biasanya menetapkan apakah sebuah kata itu polisemi atau
homonimi berdasarkan etimologi atau pertalian historisnya. Misalnya kata buku adalah homonim, yaitu buku I adalah
kata asli bahasa Indonesia yang berarti “tulang sendi”, dan buku II yang berarti “kitab” atau “pustaka” berasal
dari bahasa Belanda yang berarti “kertas bertulisan yang dijilid”; kata kopi
juga adalah homonim walaupun kata kopi I berasal dari bahasa Belanda
Koffie yang berarti “nama pohon dan biji yang digoreng untuk minuman”,
dan kopi II yang berasal dari bahasa Inggris copy yang berarti “salinan
(surat dan sebagainya)
Cara yang kedua adalah dengan mengetahui prinsip perluasan makna dari
suatu makna dasar. Salah satu
daripadanya adalah metafora, yang didasarkan pada hubungan antara
referen primer dan referen sekunder dari kata yang bersangkutan. Misalnya referen primer bagi kata-kata: mulut, mata, kepala, kaki, tangan dan
sebagainya adalah bagian-bagian dari tubuh manusia. Namun dalam perluasan berdasarkan prinsip
metaforis bagian-bagian tubuh tersebut dapat digunakan juga untuk menyebut
bagian dari: sungai, jarum, pasukan,
meja, gunung, kursi dan sebagainya.
Hubungan itu lahir dari kesamaan fungsi atau bentuk antara
referen-referennya.
Dalam bahasa Indonesia kadang-kadang homonimi masih dapat dibedakan lagi
atas homograf dan homofon, karena kesamaan bentuk itu dapat
dilihat dari sudut ejaan maupun ucapan.
Ada homonim yang homograf dan homofon artinya baik ejaan maupun
ucapannya sama, seperti tampak pada kata:
bisa I dan bisa II, alat I (perabot, perkakas) dan alat
II (jamu, tamu), amat I (sangat) dan amat II (memperhatikan),
buram I (konsep) dan buram II (tak bercahaya). Ada homonim yang homograf yang tak homofon
yang berarti ejaannya sama tetapi ucapannya berbeda, seperti: sedan I (sedu, rintih) dan sedan II
(mobil penumpang), seri I (cahaya) − seri II (mengisap) − seri
III (balui) dan seri IV (rangkaian).
Dalam kasus ini seri I, II, III di satu pihak dan seri IV di
pihak lain merupakan homonim yang homograf
yang tak homofon. Contoh-contoh
lain adalah mental I (terpelanting) dan mental II (batin, jiwa), seret
I (sendat/tidak lancar) dan seret II (menghela maju) serang (menyerbu)
dan serang II (silau) serak I (parau)
dan serak II (silau) serak I (parau) dan serak II (tersebar),
semi I (tunas) dan semi II (setengah), sela I (celah,
antara) dan sela (pelana), perang I (pertempuran) dan perang
II (pirang), pepet II (himpit) dan sebagainya. Dalam bahasa Indonesia masih terdapat
homonim yang tidak homograf tetapi homofon, terutama yang ada kaitannya
dengan fonem /h/ yang sering tidak diucapkan:
muda (remaja) dan mudah (gampang), tua (lanjut
usia) dan tuah (untung, sakti), gaji (upah) dan gaji (gemuk,
lemak), basa (bahasa) dan basah (mengandung air), bawa (angkut)
dan bawah (lebih rendah), dan sebagainya.
Hiponimi
Hiponimi adalah semacam relasi antar kata yang berwujud atas bawah, atau
dalam suatu makna terkandung sejumlah komponen yang lain. Karena ada kelas atas yang mencakup sejumlah
komponen yang lebih kecil, dan ada sejumlah kelas bawah yang merupakan komponen-komponen
yang tercakup dalam kelas atas, maka kata yang berkedudukan sebagai kelas
disebut superordinat dan kelas bawah yang disebut hiponim.
Kata bunga merupakan suatu
superordinat yang membawahi sejumlah hiponim antara lain: mawar, melati, sedap malam, falmboyan, dan
gladiol. Tiap hiponim pada
gilirannya dapat menjadi superordinat bagi sejumlah hiponim yang
bernaung di bawahnya. Misalnya ada mawar
merah, mawar putih, mawar orange, dan sebagainya. Dalam keterbatasan istilah dapat juga terjadi
bahwa istilah yang sama dapat dipakai lebih dari satu kata bagi hirarki yang
berbeda. Misalnya kata binatang pertama-tama
dipakai sebagai lawan dari tumbu-tumbuhan. Kata binatang sebagai superordinat
membawahi hiponim manusia dan binatang (hewan atau binatang tak
berakal budi) yang tadinya menjadi hiponim, sekarang dapat bertindak lagi
sebagai superordinat yang membawahi hiponim baru: burung, ikan, insek, dan binatang
penyusu.
Untuk jelasnya, lihat
skema berikut:
Dalam komposisi, sebuah hiponim dapat digantikan oleh superordinatnya
sesudah penulis mengemukakan hiponim tadi.
Tetapi sebaliknya bila penulis berbicara mengenai sebuah superordinat ia
tidak dapat menggantikan superordinat dengan hiponimnya. Paling tinggi ia merangkaikan superordinat
dengan hiponimnya sebagai suatu contoh atau ilustrasi. Misalnya: “Ia memelihara sepuluh ekor anjing
herder untuk menjaga rumahnya. Binatang-binatang itu dengan setia
mengadakan pengawalan siang dan malam.”
“Binatang adalah mahluk yang sangat berguna bagi kehidupan
manusia. Anjing misalnya membantu
manusia dalam berburu mencari jejak pencuri, menjaga keamanan rumah, dan
sebagainya.” Contoh pertama menunjukkan
bahwa kata anjing berfungsi sebagai contoh dari superordinat itu. Hal
ini penting disadari dalam komposisi.
Antonim
Istilah antonimi dipakai untuk menyatakan “lawan makna”,
sedangkan kata yang berlawanan disebut antonim. Seringkali antonim dianggap sebagai lawan
kata dari sinonim, namun anggapan itu sangat menyesatkan. Antonim adalah relasi antar makna yang
wujud logisnya sangat berbeda atau bertentangan: benci − cinta, panas
− dingin, timur − barat, suami − istri, dan
sebagainya. Bila dibandingkan dengan
sinonimi, maka antonimi merupakan hal yang wajar dalam bahasa.
Walaupun kita menerima konsep antonimi secara umum, sebenarnya terdapat
perbedaan antara bermacam-macam kata yang berantonim itu. Oposisi antar kata dapat berbentuk:
(1)
Oposisi
kembar: oposisi yang menyangkut dua anggota seperti: laki-laki − wanita, jantan − betina,
hidup − mati. Ciri utama dari
kelas antonim ini adalah penyangkalan terhadapo yang satu berarti penegasan
terhadap anggota yang lain, penegasan terhadap yang satu berarti penyangkalan
terhadap yang lain. Misalnya: Anak itu laki-laki = Anak itu bukan
wanita; anak itu bukan laki-laki = anak itu wanita.
(2)
Oposisi
majemuk: oposisi yang mencakup suatu perangkat yang terdiri
dari dua kata. Oposisi ini bertalian
terutama dengan hiponim-hiponim dalam sebuah kelas: logam, species, binatang,
tumbuhan-tumbuhan, buah-buahan, warna, dan sebagainya. Ciri utama kelas antonim ini adalah: penegasan terhadap suatu anggota akan
mencakup penyangkalan atas tiap anggota lainnya secara terpisah, tetapi
penyangkalan terhadap suatu anggota akan mencakup penegasan mengenai
kemungkinan dari semua anggota lain. Kalau
dikatakan Baju itu merah, maka tercakup di dalamnya pengertian Baju
itu tidak hijau; baju itu tidak putih; baju itu tidak hitam, dan
sebagainya. Sebaliknya, kalau dikatakan Baju
itu tidak merah maka dalam kalimat itu tercakup pengertian: Baju itu hijau atau baju itu putih atau
baju itu hitam, dan sebagainya.
(3)
Oposisi
gradual: kelas ini sebenarnya suatu penyimpangan dari
oposisi kembar, yaitu antara dua istilah yang berlawanan masih terdapat
sejumlah tingkatan antara: Antara kaya
dan miskin, besar − kecil, panjang − lebih panjang −
panjang − pendek − lebih
pendek − sangat pendek, dan sebagainya. Ciri utama antonim ini adalah: Penyangkalan terhadap yang satu tidak
mencakup penegasan terhadap yang lain, walaupun penegasan terhadap yang satu
menyangkut penyangkalan terhadap yang lain.
Misalnya: Rumah kami tidak
besar tidak mencakup pengertian Rumah kami kecil, walaupun Rumah
kami besar mencakup pula pengertian Rumah kami tidak kecil.
(4)
Umumnya
semua kata sufat dan adverbia termasuk kelompok ini, beberapa kata kerja
(cinta, benci, setuju, dan sebagainya), beberapa kata penentu (sedikit, banyak,
dan sebagainya).
(5)
Oposisi
relasional (kebalikan): adalah oposisi antara dua kata yang
mengandung relasi kebalikan: orang
tua − anak, suami − istri, guru − murid, penjual − pembeli,
menjual − membeli, memberi − menerima, mengajar − belajar,
meminjam − meminjamkan, menghentikan − berhenti, dan
sebagainya. Termasuk menyatakan arah
yang berlawanan: utara − selatan,
timur − barat, atas − bawah, depan − belakang. Relasi ini biasanya dinyatakan dengan
mempergunakan kata yang berlainan dalam kontruksi kalimat yang sama: Ali menjual seekor sapi pada Tono − Tono
membeli seekor sapi dari Ali; Ayah memberi anaknya sebuah rumah − Anak
menerima dari ayahnya sebuah rumah; Tono adalah orang tua dari Tini − Tini
adalah anak dari Tono; Yono adalah suami dari Titi − Titi adalah istri
dari Yono, dan sebagainya.
(6)
Oposisi
Hirarkis: adalah oposisi yang terjadi karena tiap istilah
menduduki derajat yang berlainan.
Oposisi ini sebenarnya sama dengan oposisi majemuk, namun di sini
terdapat suatu kriteria tambahan yaitu tingkat. Termasuk dalam kelas ini adalah: perangkat ukuran, penanggalan. Misalnya:
milimeter − centimeter − desimeter − meter, dan
seterusnya, inci − kaki − yard,
gram − desigram − kilogram; Januari − Febuari − Maret
− April, dan sebagainya.
(7)
Oposisi
Inversi: oposisi yang terdapat pada pasangan kata
seperti: beberapa − semua,
mungkin − wajib, boleh − harus, tetap − menjadi. Pengujian utama mengenai oposisi inversi
ini adalah apakah ia mengikuti kaidah sinonim yang mencakup (a)
penggantian suatu istilah dengan yang lain, dan (b)
mengubah posisi suatu penyangkalan dalam kaitan dengan istilah yang
berlawanan. Misalnya:
− “Beberapa
negara tidak memiliki pantai”
sinonim dengan: ”Tidak semua negara
memiliki pantai”.
− “Semua
kucing bukan kerbau” sinonim dengan:
“Tak ada kucing adalah kerbau”.
− “
Kita diharuskan untuk tidak menjadi perokok = Kita
tidak diperbolehkan menjadi perokok.
−
“Kakak tidak menjadi perokok
= Kakak tetap bukan perokok.
Unsur Stilistika
Stilistika secara etimologis
merupakan hubungan kata stylistics dengan kata style, artinya ilmu tentang
gaya. Stilistika merupakan ilmu pemanfaatan bahasa dalam suatu karya sastra.
Menurut Kridalaksana (1983:157) mengemukakan
bahwa stilistika (stylistics) adalah (1) ilmu yang menyelidiki bahasa
yang dipergunakan dalam karya sastra; ilmu interdisipliner antara linguistik
dan kesustraan; (2) penerapan linguistik pada penelitian gaya bahasa .
Berdasarkan pengertian di atas dapat diringkas demikian: stilistika adalah
ilmu tentang gaya (bahasa). Stilistika
itu sesungguhnya tidak hanya merupakan studi gaya bahasa dalam kesusastraan,
tetapi juga dalam bahasa pada umumnya.
Di samping itu stilistika
merupakan bagian dari linguistik yang memusatkan perhatiannya pada variasi
penggunaan bahasa, terutama bahasa dalam kesusastraan.
Telah dikatakan bahwa stilistika adalah ilmu tentang gaya bahasa (style). Dari definisi tersebut kemudian muncul
pertanyaan: apakah gaya bahasa?
Gaya bahasa adalah (1) pemanfaatan kekayaan bahasa oleh seseorang dalam
bertutur atau menulis; (2) pemakaian ragam tertentu untuk memperoleh efek
tertentu; (3) keseluruhan ciri bahasa sekelompok penulis sastra (Kridalaksana,
1983:49-50). Dalam buku On Defining
Style, Enkvist (Junus, 1989:4) mengatakan bahwa gaya adalah (1) bungkus
yang membungkus inti pemikiran yang telah ada sebelumnya; (2) pilihan antara
berbagai-bagai pernyataan yang mungkin; (3) sekumpulan ciri pribadi; (4)
penyimpangan norma atau kaidah; (5) sekumpulan ciri kolektif; dan (6) hubungan
antarsatuan bahasa yang dinyatakan dalam teks yang lebih luas daripada kalimat.
Penelitian stilistika
berdasar asumsi bahwa bahasa sastra mempunyai tugas mulia. Bahasa memiliki
pesan keindahan dan sekaligus membawa makna. Tanpa keindahan bahasa, tentunya
karya sastra hanya akan menjadi ambar. Keindahan dipengaruhi oleh kreatifitas
penulis dalam meracik kata-kata. Di sini bahasa akhirnya menjadi wahana khusus
ekspresi kata.
Seperti diketahui bahwa stilistika dapat menjadi
“jembatan” yang menghubungkan antara kritik sastra di satu pihak dan linguistik
di pihak lain. Hubungan itu tercipta
karena stilistika mengkaji wacana sastra dengan orientasi linguistik. Stilistika mengkaji wacana sastra dengan
orientasi linguistik. Stilistika
mengkaji cara sastrawan dalam menggunakan unsur dan kaidah bahasa serta efek
yang ditimbulkan oleh penggunaannya itu.
Stilistika meneliti ciri khas penggunaan bahasa dalam wacana sastra,
ciri yang membedakannya dengan wacana nonsastra, dan meneliti deviasi terhadap
tata bahasa sebagai sarana literer. Atau dengan kata lain,
stilistika meneliti fungsi puitik bahasa (Sudjiman, 1993:3).
Secara umum, lingkup
telaah stilistika mencakup diksi atau pilihan kata (pilihan leksikal), struktur
kalimat, majas, citraan, pola rima, dan matra yang digunakan seorang sastrawan
atau yang terdapat dalam karya sastra (Sudjiman, 1993:13-14). Atau, aspek-aspek bahasa yang ditelaah dalam
studi stilistika meliputi intonasi, bunyi, kata, dan kalimat sehingga lahirlah
gaya intonasi, gaya bunyi, gaya kata, dan gaya kalimat (Pradopo, 1995:10).
Menurut Pradopo (1995:
72), nilai estetik suatu karya sastra ditentukan oleh gaya bahasanya. Kemahiran
penyair dalam bermain di dunia stilistika, menunjukkan kemahiran dan besarnya
kreatifitas sang penyair. Gaya bahasa sebagai media dalam stilistika, merupakan
efek seni dalam karya sastra yang terpengaruh kuat oleh nurani sang penyair. Melalui
gaya bahasa itulah penyair kemudian meluapkan ekspresinya. Betapa pun senang
atau sedihnya dia, melalui gaya bahasa, karya sastra yang penulis buat akan
tetap bernilai seni.
Dalam studi stilistika, kemungkinan cara pendekatan
yang terdapat digunakan ada dua macam, yaitu (1) menganalisis sistem linguistik
karya sastra yang dilanjutkan dengan interpretasi ciri-cirinya dilihat dari
tujuan estetis karya sastra sebagai makna total, dan (2) mengamati deviasi dan
distorsi terhadap pemakaian bahasa yang normal (dengan metode kontras) dan
berusaha menemukan tujuan estetisnya (Wellek dan Warren, 1990:226). Meskipun berbeda titik pijaknya, pendekatan
kedua itu pada dasarnya tidak bertentangan dengan pendekatan pertama.
Pengertian tentang stilistika, gaya bahasa, dan
lingkup telaahnya dalam makalah ini tidak akan disajikan secara panjang lebar,
tetapi hanya diuraikan secara ringkas.
Maksudnya adalah agar studi ini tidak terkesan teoritis, tetapi lebih
sebagai telaah praktis. Oleh karena itu,
setelah pengertian stilistika, gaya bahasa, dan lingkup telaahnya diuraikan
secara ringkas, pembahasan langsung masuk ke aspek-aspek stilistik cerpen
“Dinding Waktu, Cincin Kawin, dan Kartu Pos dari Surga”. Aspek stilistik (gaya bahasa) yang dianalisis
pun tidak mencukupi keseluruhannya, tetapi hanya dibatasi pada aspek yang
dominan.
Gaya,
Suasana dalam Cerpen
Pengertian Makna Leksikal
Makna leksikal
adalah makna yang tetap tidak berubah-ubah sesuai dengan makna yang ada di
kamus.Contoh :
- toko
- obat
- mandi
Gaya
Cerita fiksi akan
nenarik bila disajikan dengan gaya yang khas, artinya gaya yang mandiri dan
tidak menjemukan. Jadi, seorang pengarang harus memiliki gaya untuk merangsang
pembaca, memainkan perasaan pembaca, membawa suasana emosi pembaca, sehingga
pembaca benar-benar terpikat. Sebuah cerpen akan menarik itu tergantung
bagaimana pengarang memainkan ceritanya dengan gaya yang dimilikinya, sehingga
pembaca berselera untuk membacanya. Aminuddin (1987:72) mengatakan: “Gaya
mengandung pengertian cara seorang pengarang menyampaikan gagasannya dengan
menggunakan bahasa indah dan harmonis serta mampu menuansakan makna dan suasana
yang dapat menyentuh daya intelektual dan emosi pembaca.“
Istilah gaya
diangkat dari istilah style yang berasal dari bahasa Latin stilus
dan mengandung arti leksikal adalah alat untuk menulis. Menurut Sumardjo
(1986:92) bahwa gaya adalah cara khas pengungkapan seseorang. Cara bagaimana
seseorang pengarang memilih tema, persoalan, meninjau persoalan dan
menceritakan dalam sebuah cerpen. Dengan kata lain gaya adalah pribadi
pengarang itu sendiri.
Suasana
Seorang cerpenis
mampu menggerakkan batin pembacanya bila suasana dalam cerpen ditata dan
harmonis dengan konteks cerita, sudah pasti semua cerpen memiliki suasana.
Sumardjo dan Saini (1986: 109) mengatakan: “Suasana dalam cerita pendek
membantu menegaskan maksud pengarang, disamping itu suasana juga merupakan daya
pesona sebuah cerita.” Jadi, dalam cerita pendek itu pengarang pasti menata
ceritanya, terutama dengan suasana yang diciptakannya. Misalnya suasana tokoh
dalam kesedihan, gembira, atau kalut. Suasana lain pun akan dilukiskan
pengarang menurut waktu saat itu, misalnya tengah malam, sore, pagi, siang, dan
sebagainya.
PEMBAHASAN
Judul Cerpen : Dinding Waktu
Pengarang :
Danarto
Danarto, dalam karya-karya cerpennya, tampaknya
memiliki gaya yang khas dalam memanipulasi atau memanfaatkan sarana bahasa
sebagai media ekspresinya. Pilihan kata (diksi,
pilihan leksikal), kelompok kata (frase), dan kalimat-kalimatnya terasa sangat
sesuai dengan “tema-tema besar” yang dikemukakannya. Atau sebaliknya, gagasan-gagasan yang
ditampilkan Danarto terasa lebih eksplisit karena didukung oleh penggunaan
bahasa yang tepat (tepat artinya
tidak harus benar). Karena itu,
sarana bahasa yang dimanfaatkannya seiring dengan implikasi yang besar terhadap
gambarannya tentang peristiwa, tokoh, latar, dan sarana-sarana sastra lainnya.
Ketika membaca cerpen “Dinding Waktu”, segera
terasa bahwa pembaca dihadapkan pada suatu “dunia” yang aneh, “dunia” yang ganjil. Keanehan dan keganjilan itu tidak hanya
dijumpai pada saat membaca judul yang terdiri atas dua kata (dinding dan waktu) yang secara gramatik
dan semantik menyimpang dari konvensi, tetapi juga sampai pada kalimat-kalimat
terakhir cerpen. Menurut kaidah bahasa
yang lazim, kata dinding dan waktu tidak pernah dapat disatukan
karena yang pertama bersifat konkret (sesuatu yang dapat ditentukan
batasnya) dan yang kedua bersifat abstrak (yang tidak dapat ditentukan
batas-batasnya). Karena itu, keduanya menyimpang
baik secara gramatik maupun semantik, yang dalam istilah stilistika disebut
gaya bahasa anomali.
Kendati demikian, dua kata terpisah yang disatukan
itu justru melahirkan efek tertentu, yaitu merujuk pada “kebenaran” bahwa
sesungguhnya antara yang nyata dan yang tidak nyata (konkret dan
abstrak) tidak dapat dipisahkan secara jels atau tidak memiliki batas yang
tegas. Artinya, secara nyata (konkret) itu dapat dikatakan tidak
nyata (abstrak) karena memang tidak ada sesuatu pun yang abadi (kecuali
Tuhan, Zat tertinggi); dan sebaliknya, tidak nyata itu pun sesungguhnya
merupakan kenyataan bahwa itu tidak nyata. Hal tersebut tampaknya memang aneh dan
ganjil, tetapi memang demikianlah pandangan mistisisme.
Dalam kaitannya dengan itu, agaknya pilihan kata
pada judul tersebut menjiwai isi cerpen secara keseluruhan (total). Jika dieksplisitkan, isi cerpen itu
barangkali dapat diabstraksikan dengan kata-kata seperti ini: dalam kefanaan
ada kekelan, dalam keabadaian ada kesementaraan, dalam mati kita hidup, dan
dalam hidup kita mati. Pernyataan semacam itu oleh pengarang telah
ditampilkan secara tersurat dalam sebuah kalimat (bagian akhir seperti berikut.
“...Dia memusnahkan
tubuhnya supaya mudah menuju kekekalan, untuk menjadi pemenang abadi...”
Apabila diamati lebih lanjut, dalam gambaran
“dunia” yang aneh dan ganjil itu – sebagaimana terkristal pada judul cerpen
yang aneh dan ganjil itu pula -, keanehan dan keganjilan itu semakin terasa dalam
karena secara analitik pengarang membangun ide-ide transedentalnya (dalam
uraian isi) dengan sarana linguistik yang mengandung intensitas yang
tinggi. Intensitas yang tinggi itu tidak
hanya tampak pada pemanfaatan kata atau frase yang berulang-ulang (repetisi),
tetapi juga pada sarana-sarana retoris yang berlebihan (hiperbol),
ungkapan-ungkapan yang padat (asindeton), pernyataan yang bertentangan (oksimoran),
dan kiasan yang menginsankan atau menghidupkan benda-benda mati (personifikasi). Untuk lebih jelasnya dapat diamati kutipan
paragraf pertama berikut.
“Dalam peperangan yang
sudah berlangsung selama seribu tahun itulah saya menjumpai seorang seonggok batu
besar di tengah-tengah medan pertempuran.
Saya yang telah memfosil, tua renta, dengan sisa-sisa tenaga dalam usia
1350 tahun, berlindung di balik batu besar itu dari tembakan, semburan api,
maupun ledakan bom. Saya bukan tentara,
bukan pula wartawan, melainkan penonton biasa.
Penonton perang. Ya, sayalah
penonton perang yang fanatik dari zaman ke zaman. Sejak berabad-abad yang silam ketika untuk
menikmati tontonan pertandingan sepakbola yang indah memerlukan kekejaman,
....”
Dalam kutipan tersebut (kalimat pertama dan kedua)
tampak jelas ada sesuatu yang sangat dilebih-lebihkan (hiperbola), aneh,
dan ganjil, karena selamanya belum pernah ada (walaupun menurut sejarah) perang
mitos wayang. Kalaupun ada, jelas bahwa
hal itu hanya ada dalam bayangan, secara imajiner saja. Di samping itu, tokoh yang berinisial saya
yang telah memfosil, tua renta, dan berusia 1350 tahun itu juga
merupakan sesuatu yang sangat berlebihan karena sepanjang sejarahnya tidak
pernah ada manusia yang berusia setua itu, apalagi telah memfosil tetapi dapat
hidup segara bugar.
Dalam kaitan itulah, dapat ditafsirkan bahwa tokoh saya
dalam cerpen itu bukan merupakan manusia atau personal biasanya seperti
yang dipertegas oleh adanya repetisi (bukan dan penonton perang)
seperti tampak dalam kalimat tiga, empat, dan lima, melainkan merupakan subjek
tertentu yang menghadapi objek yang berupa pe(perang)an itu. Oleh karena subjek pada berubah
fungsi, dan peperangan (objek) juga selamanya merupakan bentuk konkret
dari kekejaman, yang setiap saat dapat terjadi, sejak berabad-abad yang silam,
maka saya yang berfungsi sebagai subjek itu pun akhirnya justru
merasakan peperangan sebagai tontonan yang indah bagai tontonan sepak
bola. Karena itu, tepatlah pemanfaatan
gaya bahasa oksimoron seperti tampak dalam kalimat keenam yang berbunyi yang
indah memerlukan kekejaman itu.
Keganjilan, keanehan, dan ketidakjelasan batas
antara yang nyata dan yang tidak nyata seperti yang telah
dinyatakan di atas semakin tampak eksplisit jika diamati kutipan paragraf kedua
berikut.
“Jutaan mayat tentara bertumpuk
makin mempertinggi dataran pertempuran.
Onggokan rongsokan mesin-mesin perang telah pernah menjadi
gunung. Lembah dan danau dibentuk
oleh ledakan-ledakan bom. Dan bukit-bukit
patung berbagai bentuk diciptakan oleh pesawat-pesawat yang menghujam
bumi, ratusan ribu jumlahnya. Dan
sepasang mata yang tak lelah-lelahnya ini menikmati dengan rasa
kekudusan yang dalam seluruh palangan, medan pertempuran, yang amat sangat haus
dasar itu. Lewat mata, pikiran ini telah
merekam segala emosi tradisi perang yang sangat panjang, menjalar-jalar
di saraf-saraf zaman.
Mengakibatkan tiap bangsa memperpanjang waktu memperjuang
ruang.”
Kalimat pertama dan kedua di atas jelas mengandung
sesuatu yang berlebihan (hiperbol).
Suasana perang semakin mengerikan karena mayat korban perang tak
terhitung lagi jumlahnya, pokoknya jutaan, sehingga makin mempertinggi dataran
pertempuran. Kata makin dalam
kalimat pertama itu mengindikasikan bahwa perang tidak pernah usai, tetapi terus
bergelora, sehingga mesin-mesin rongsokan bekas senjata perang pun bertumpuk menjadi
gunung (kalimat kedua). Berapa
ribukah jumlah mesin perang sehingga rongsokannya bertumpuk menjadi
gunung? Pikiran kita juga bertanya
seberapa besarkah bom-bom yang diledakkan sehingga mampu membentuk lembah
danau? (kalimat ketiga). Agaknya ini merupakan suatu penanda bahwa
sebenarnya hidup ini tidak lain adalah suatu keganjilan, suatu keanehan, karena
ternyata masih banyak hal yang selamanya misterius, masih banyak yang sama
sekali tidak dapat kita ketahui. Namun,
itu tampaknya merupakan isyarat bahwa sesungguhnya manusia adalah makhluk yang
sangat terbatas.
Keganjilan di atas pun semakin tinggi frekuensinya
karena adanya kata ulang yang bertubi-tubi (mesin-mesin, ledakan-ledakan,
bukit-bukit, pesawat-pesawat, tak lelah-lelahnya, menjalar-jalar di saraf-saraf). Kata-kata ulang itu menunjukkan jamak, yang
berarti menunjukkan pula bahwa perang yang dipersonifikasikan sebagai amat
sangat haus darah itu tidak pernah berhenti, tetapi jalan terus
susul-menyusul. (Kata ulang yang
bertubi-tubi muncul juga dalam paragraf yang dimulai dengan ledakan-ledakan
pun susul-menyusul ....). karena
itu, sangat tepat jika di akhir paragraf kedua itu muncul repetisi (memperpanjang
waktu, memperpanjang ruang) yang menunjukkan bahwa subjek atau
manusia-lah yang sebenarnya berperan utama; dalam arti bahwa kehancuran manusia
itu sesungguhnya diciptakan oleh manusia dan untuk manusia sendiri.
Kalau diamati, pernyataan terakhir itu berkaitan
erat dengan ungkapan pada paragraf berikutnya yang menggambarkan sifat ambisius
manusia, makhluk yang tidak abadi dan tidak kekal ini. Karena itu, perang dijadikan sebagai arena
judi yang hasil kemenangannya pun hanya untuk diri sendiri. Hasil (hadiah) yang ditawarkan sangant
menggiurkan, yaitu seperti yang dilukiskan dengan gaya bahasa asindeton
berikut (uang, perusahaan, manusia, binatang, atau apa saja
yang diperjudikan). Gaya bahasa yang
berupa paralelisme, repetisi, dan asindeton yang lebih mempertegas
sifat-sifat kefanaan manusia tampak jelas dalam kutipan berikut (paragraf
ketiga).
“...Peserta penonton ini
terdiri dari berbagai lapisan sosial. Kebanyakan para jutawan. Di antaranya para pedagang, pengusaha, konglomerat, para
pangeran, raja, bahkan ada juga ratu.
Jika sepi perang, kami penonton menyelenggarakannya, mengongkosinya, dan
mengakhirinya. Tragedi dan kebahagiaan
cumalah bikinan-bikinan belaka”.
Kalimat terakhir yang mengandung gaya bahasa
sinisme atau bahkan sarkasme tersebut menunjukkan – seperti telah dikemukakan
di depan perang yang identik dengan kekejaman itu sesungguhnya hanyalah
diciptakan oleh dan untuk manusia sendiri (yang dalam cerpen ini adalah penonton,
saya, kami). Karena itu, perang dan
kekejaman akhirnya dirasakan bukan lagi sebagai suatu yang naif, melainkan
sebagai hal yang biasa. Bahkan, jika
tidak ada perang, manusia seolah merindukannya (menyelenggarakan,
mengongkosi, mengakhiri, dan seterusnya), ingin menikmati betapa eloknya
perang, betapa menggairahkannya perang.
Hal demikian misalnya secara eksplisit terlukis di dalam kalimat yang
mengadung gaya bahasa oksemoron berikut (paragraf empat).
“...Angkasa penuh peluru
berseliweran, bumi kejatuhan bom berledakan. Betapa eloknya kekejaman, betapa nikmatnya
keporakporandaan”.
“...diam rapat-rapat
menutup mulut untuk meresapi suara-suara simfoni perang yang menggairahkan”.
Demikian antara lain variasi bahasa yang digunakan
Danarto secara analitik dalam cerpen “Dinding Waktu” yang berlatarbelakang
perang itu. Gaya bahasa hiperbol,
repetisi, asindeton, dan oksimoron dimanfaatkan sebagai penambah dan
penyangat intensitas ketegangan sehingga terciptalah “jarak” yang tak terbatas
dalam hal waktu dan ruang, atau dalam hal masa kini, masa lalu, dan masa
depan. Karena itu, “saya” yang nyata (sebagai
penonton perang) dan yang tidak nyata (sebagai subjek) pun tidak dapat
diketahui batasnya. Dalam diri aku (manusia)
mungkin telah tercipta semacam oposisi biner yang tak terelakkan: jauh-dekat,
mati-hidup, tunggal-ganda, masa lalu-masa kini, masa kini-masa depan,
keutuhan-keterpecahan, nyata-tidak nyata, terbatas-tidak terbatas, abadi-tidak
abadi, dan seterusnya.
Apa yang tersirat dalam dimensi-dimensi oposisional
itulah yang mengindikasikan bahwa apa saja yang ada di “dunia” ini sebenarnya
serba mungkin, entah itu mungkin dalam tingkat ideal (dunia ide) ataupun
tingkat empirik (dunia nyata). Karena
itu, tidak mengherankan jika dalam cerpen “Dinding Waktu” Danarto menciptakan
tokoh ibu yang telah ditinggal mati oleh tujuh puluh anaknya dan mampu menjelma
menjadi batu. Walaupun sudah
menjadi batu, si ibu yang batu itu masih sangat lancar berdialog
dengan saya si penonton
perang. Penginsanan (personifikasi)
batu seperti layaknya manusia (yang mampu berbicara dan bahkan merasa sangat
bahagia setelah berhasil beralih bentuk menjadi batu) itu tampak eksplisit
dalam kalimat-dramatik sejak pertengahan sampai akhir cerita.
Hanya sekedar contoh, perhatikan kalimat-kalimat
personifikatif dalam kutipan-kutipan berikut.
“Sudah puaskah kalian
menonton?” Tiba-tiba satu suara terdengar.
Kami terkejut. Kami bertolehan
....
“Saya belum puas
menonton, sebelum ribuan tahun menonton,” jawab saya sekenanya sambil mendongak
....
“Suara ini datang dari
bongkahan yang sedang melindungimu”. Mendengar suara ini, kami jadi ribut ....”
“Siapa Anda dan kenapa
teronggok di sini?” Kamera-kamera pun berebut tempat.
“Sesungguhnya saya
seorang ibu ...” jawab batu itu.
“Seorang ibu yang batu?”
potong seorang wartawan ....
“Saya seorang ibu dari
tujuh puluh anak. Laki-laki lima puluh dan
perempuan dua puluh. Semuanya sudah
musnah dalam peperangan seribu tahun ini.
Yang laki-laki gugur satu per satu sebagai pejuang. Yang perempuan gugur sebagai perawat, satu
per satu di garis paling depan”.
Di samping memanfaatkan kalimat-kalimat
personifikatif seperti di atas, dalam cerpen ini Danarto juga mempergunakan
gaya humor, misalnya tampak dalam kutipan (bagian akhir cerita) berikut.
“Para wartawan itu
tertegun. Lalu beramai-ramai mereka berteriak:
“Ibu, jadikan kami batu.”
“Jadilah!” seru ibu batu
itu.
Dan mendadak para wartawan itu
menjelma batu, teronggok dingin dan diam ....
“Ibu batu itu tidak sportif!”
teriak salah satu penonton.
“Dia harus dikenai kartu merah!”
“Dia penonton berbahaya ....”
Dalam suasana perang itu kalimat Dia harus
dikenal kartu merah sangat tidak sesuai dengan konteksnya karena kalimat
itu hanya ada dalam konteks permainan sepak bola. Akan tetapi, kalimat tersebut ternyata
memiliki efek tertentu yang menakjubkan yang berfungsi sebagai humor untuk
mengendorkan frekuensi ketegangan. Hal
semacam inilah yang merupakan salah satu ciri khas Danarto dalam bercerita
kepada pembaca. Di saat-saat tertentu ia
sering mengajak pembaca untuk berolah pikir secara serius, tetapi di saat lain
ia tidak pernah lupa memberikan surprising-nya (kejutan).
Judul Cerpen : Cincin Kawin
Pengarang : Danarto
Sebagai seorang penulis cerpen, Danarto terampil
dalam mendeskripsikan suatu peristiwa tertata secara runtut dengan memanfaatkan
beberapa gaya bahasa seperti, gaya bahasa klimaks, simile, dan menggunakan kata
simbolis cara kerja langit untuk merujuk pada Sang Pencipta.
Ketika Ibu mendapatkan
cincin kawinnya berada di dalam perut ikan yang sedang dimakannya, seketika Ibu
terkulai di meja makan, pingsan. Lalu koma sekitar satu minggu, kemudian Ibu meninggal dunia. Sejak saat
itu sejarah hidup keluarga kami diputar ulang. Seperti digelar di kamar
keluarga, juga di pekarangan belakang rumah, hari demi hari diperlihatkan
malaikat betapa cara kerja langit tak mempunyai patokan. Tak dapat di tebak.
Tak terduga. (hal 36).
Kesan estetis yang tinggi, juga dimunculkan melalui penggunaan konotasi
mengarungi pemandangan, dalam kutipan berikut:
Dalam mengarungi pemandangan yang terbentang
di hadapan, kami tak tahu benar apakah itu pemandangan alam atau lukisan
pemandangan alam di atas kanvas. (hal 36).
Kata-kata dibentuk dalam sebuah repetisi dalam bentuk
anafora yang berwujud perulangan kata pertama dalam sebuah konstruksi kalimat,
serta menggunakan kata-kata yang bermuatan simbolis yaitu rambu-rambu
lalu-lintas yang merujuk pada tatanan,
norma kehidupan.
Pemandangan indah,
pemandangan suram, semua disajikan kepada kami. Kami harus jujur, kami
sekeluarga bukan kumpulan orang-orang baik tapi kami mematuhi rambu-rambu
lalu-lintas. (hal 36).
Menggunakan repetisi dengan
memanfaatkan keterangan syarat jika untuk menyatakan pilihan, serta
menggunakan kata kias harga mati, yang merupakan suatu takdir yang tak
bisa ditolak.
Jika kami bongkar, apa
satpam tidak marah? Jika tidak kami bongkar, kami megap-megap. Tapi itulah harga mati dari rantai yang sudah terlanjur bergandengan. (hal 37).
Menggunakan perbandingan
seakan nama, watak, kelakuan dapat berputar-putar bagaikan mahluk hidup tersaji
dalam personifikasi yang estetis.
Nama, watak, kelakukan,
pikiran, emosi, keberuntungan, dan nasib jelek, berputar-putar di dalam di
dalam kubangan rajah tangan yang sudah di cetak di dalam KTP yang tersimpan
dalam segel laminasi dengan warna emas. (hal 36).
Menggunakan kata-kata yang berkontradiksi atau
berlawan arti untuk menegaskan maksud seperti yang tampak pada kata-kata hari yang mendidih walau hujan
sehari-harinya, yang hitam pekat oleh
bara.
Hari itu hari yang
mendidih. Walau hujan sehari-harinya. Desember yang hitam pekat oleh bara yang
menganga telah membayangi hidup kami sekeluarga setiap detiknya. (hal 37)
Menggunakan
kata-kata yang berparalel dengan menggunakan kata-kata yang memiliki
kesejajaran, yaitu pada kata menggigil
kedinginan, serta terdapat pleonasme dengan menggunakan kata mata saya mengintip dilanjutkan dengan
penempatan personifikasi hujan lebat yang tak mau tahu.
Mereka basah kuyup
menggigil kedinginan oleh hujan dan kepanasan oleh hantu yang mengintip dari
balik kancing baju mereka. (hal 37).
Ketika itu mata saya
mengintip dari balik semak dalam hujan lebat yang tak mau tahu. (hal 37)
Pengarang mampu mengisahkan kesan yang horor, yang
mengerikan ketika leher-leher manusia ditinggalkan kepalanya akibat dieksekusi
dengan pedang yang tajam, semua dikemas dalam gaya bahasa pleonasme; mata
saya mengintip, personifikasi; hujan lebat yang tak mau tahu, pars
pro toto, sebuah sinekdoke yang menggungkapkan sebagian untuk keseluruhan,
yaitu dengan kalimat, Mata yang
berumur sekitar dua puluh delapan tahun, untuk menyebutkan seseorang dalam
hal ini pengarang sendiri; dan Saya menyaksikan leher orang ....merupakan
bentuk pars pro toto. Di samping itu juga menggunakan paralelisme dengan
menempatkan kata dalam sebuah kalimat yang sejajar, yaitu pada Mata yang
berumur.... Mata yang menatap tajam....
Ketika itu mata saya
mengintip dari balik semak dalam hujan lebat yang tak mau tahu. Mata yang
berumur sekitar dua puluh delapan tahun. Mata yang menatap tajam tajam di
antara tetesan hujan deras itu. Saya menyaksikan satu per satu dari leher orang-orang
yang duduk termangu-mangu setelah disambar kilatan putih menyemburkan cairan
merah dengan deras ke udara. (hal 37)
Pengarang menggunakan kata saya yang
menyiratkan kepada kita bahwa isi cerita merupakan bagian dalam kehidupannya.
Kata saya muncul dalam kalimat-kalimat ini:
Ketika itu mata saya
mengintip dari balik semak dalam hujan lebat yang tak mau tahu........ Saya
menyaksikan satu per satu dari leher orang-orang yang duduk termangu-mangu
setelah disambar kilatan putih menyemburkan cairan merah dengan deras ke udara.
Saya yang menggigil dalam hujan penuh gelek.... (hal 37)
Penulis juga menggunakan
hiperbola, yaitu dengan menyatakan maksud secara berlebihan, tampak pada
kalimat:
Para petugas yang telah melaksanakan perintah itu, dalam
keadaan basah kuyup berlarian dengan pedang
yang telanjang berkilatan oleh cahaya petir, menuju sejumlah truk yang
telah kosong, lalu tancap gas meninggalkan kawasan itu. Dengan
menjerit-jerit memanggil Ayah, saya yang
mengggigil dalam hujan penuh geledek menyambar-nyambar ....(hal 37)
Pengarang di samping menggunakan simile dalam
pengisahannya juga menggunakan kata uap dan megap-megap.
Kata-kata tersebut selain memiliki rima yang sama juga menimbulkan makna bahwa
pekerjaan pencarian jenazah dilakukan dengan usaha keras namun hasilnya sia-sia.
Lalu saya terjun ke
sungai berusaha keras mencari jenazah Ayah. Saya menyembul dan menyelam di
antara jenazah-jenazah, mencoba mengingat kembali baju apa yang dipakai Ayah.
Rasanya seperti mencari jarum di tumpukan jerami. Hujan yang sangat deras menyebabkan permukaan air sungai penuh uap. Saya megap-megap. (hal 38).
Pengarang menyatakan
suatu kepedihan, suatu penderitaan yang
sangat klimaks dengan menggunakan rima kata mayat-mayat dan
menyayat-nyayat, mayat-mayat, puluhan, ratusan ribu serta menggunakan hiperbola
Mayat-mayat embun, taruhlah dinampan, jadi hidangan suci dari
bau tangan yang gatal. Menyayat-nyayat
dada, menyayat-nyayat air liur yang dijilati petir. Mayat-mayat yang
menyembunyikan nama, watak, kelakuan, pekerjaan, emosi. Mayat-mayat, puluhan,
ratusan ribu, carilah dalam map dari para pencari data. Para pencari data yang
berdatangan dari seantero dunia. (hal 38).
Kami bertiga menangis
dengan air mata yang menusuk-nusuk ulu
hati (hal 39)
Penggunaan rima dalam pemakaian
kata tampak juga dalam pasangan kata-kata berikut: teror–horor; kecebur–hancur;
bertahan–berantakan seperti:
Beberapa bulan kemudian
merupakan hari-hari teror dan horor
menghantui kami karena pada waktu dini
hari kami sering terbangun dari tidur terkaget-kaget oleh gedorang
orang-orang. .......Sungguh saya tidak
bisa mengerti mengapa kami kecebur dalam kubangan begini rupa tetapi kami harus
bertahan atau kami hancur bertahan atau kami hancur berantakan. (hal 39).
Pengarang menggunakan kata digondheli
yang menyatakan arti dipegang secara
erat-erat jangan sampai terlepas dalam kalimat:
Hari-hari yang
mengerikan itu sering mendorong nyawa kami sampai di tenggorokan. Nyawa yang
digondheli rada sekuat-kuatnya. Supaya tidak terlepas. Supaya tetap betah
menghuni di dalam tubuh kami dalam keadaan sengeri apa pun. Duh, raga,
gondheli-lah nyawa. (Hal 39).
Judul Cerpen : Kartu Pos dari Surga
Pengarang : Agus Noor
Cerpen yang berjudul Kartu Pos
dari Surga yang ditulis oleh Agus Noor ini jika dilihat dari segi leksikalnya,
banyak menggunakan kosa kata atau bahasa percakapan yang diwarnai oleh unsur
daerah. Penulis
dalam menggunakan kosa kata lebih mengedepankan
fungsi komunikatifnya daripada kebakuan leksikal yang digunakannya.
Penulis banyak menggunakan kosa kata tidak baku, seperti: malah, tapi,
kepleset, udah, nanya, ndak, gampang, sempet nganter, bubaran, enggak, anter
Beningnya enggak, emang, ngambil, dan
ketimbang. Kata-kata tersebut
terdapat pada beberapa kutipan di bawah ini:
1)
Tapi gadis kecil itu malah mempercepat larinya. Seperti
capung ia melintas halaman (hal. 1).
2)
Tapi memang tak ada (hal. 1).
3)
Ia nyaris kepleset dan menabrak pintu (hal. 1).
4)
”Kartu posnya udah diambil Bibik, ya?” (hal. 1).
5)
”Sekarang setiap pulang, Beningnya selalu nanya
kartu pos...,” (hal. 2).
6)
”Saya ndak tahu mesti jawab apa....,” (hal. 2).
7)
Memang tak gampang menjelaskan semuanya pada anak
itu (hal. 2).
8)
”Mungkin Pak Posnya lagi sakit. Jadi belum sempet nganter kemari .... ” (hal. 2).
9)
Sekolahnya memang mengharuskan setiap murid punya hand
phone agar bisa dicek sewaktu-waktu, terutama saat bubaran sekolah,
..... (hal.
2).
10)
Ren sejak kanak
sering menerima kiriman kartu pos
dari ayahnya yang pelaut. (hal. 3).
11)
”Enggak bisa tidur, ya? Mo tidur di kamar Papa?” (hal. 4).
12)
”Besok Papa bisa anter Beningnya enggak?” tiba-tiba
anaknya bertanya. (hal. 4).
13)
”Kalu emang Pak Posnya sakit biar besok Beningnya
aja yang ke rumahnya, ngambil kartu pos dari Mama.” (hal. 4).
14)
Tetapi rasanya jauh lebih mudah menenangkan Beningnya
dari tangisnya ketimbang harus menjelaskan bahwa pesawat Ren jatuh ke
laut dan mayatnya tak pernah ditemukan. (hal. 6).
Selain itu penulis menggunakan
kata lagi sebanyak dua kali sebagai unsur penegas. Hal ini tampak pada
kutipan berikut:
1)
Mobil jemputan sekolah belum lagi berhenti (hal.
1).
2)
Mobil jemputan belum lagi berhenti ketika Marwan
melihat Beningnya meloncat turun. (hal. 5).
Penulis tampak piawai dalam
menggunakan pasangan kata yang
berparalel, seperti: mengelus lembut, menyenangkan dan membanggakan, serta
bukit karang yang menjulang. Kata-kata ini terdapat pada kutipan berikut:
1)
Lalu ia mengelus lembut anaknya. (hal. 2).
2)
”Itulah saat-saat menyenangkan dan membanggakan
punya ayah pelaut.” (hal. 3).
3)
Gambar di dinding goa. Bukit karang yang menjulang.
Semua itu
tampak menjadi lebih indah ..... (hal. 4).
Penulis begitu banyak menggunakan partikel –nya
sebagai penegas, yang seharusnya sebagai posesif. Partikel –nya dipergunakan berkali-kali untuk mempertegas nama seorang anak yaitu Bening. Partikel ini tampak begitu dominan pada
kutipan berikut:
1)
Beningnya langsung meloncat menghambur (hal 1).
2)
Beningnya tertegun , mendapati kotak itu kosong (hal. 1).
3)
Beningnya pun segera berlari berteriak, ”Biiikkk...,
Bibiiikkk.... (hal. 1).
4)
”Sekarang setiap pulang, Beningnya selalu nanya
kartu pos...,” (hal. 2).
5)
Meski baru play
group, Beningnya sudah pegang hape. (hal. 2).
6)
Aku hanya ingin Beningnya punya kebahagian yang
aku rasakan .... (hal. 3).
7)
Beningnya berdiri sayu menenteng kotak kayu. (hal.
3).
8)
”Besok Papa bisa anter Beningnya enggak?” tiba-tiba
anaknya bertanya. (hal. 4).
9)
Marwan melihat mata Beningnya berkaca-kaca.
(hal. 5).
10)
Tetapi rasanya jauh lebih mudah menenangkan Beningnya
dari tangisnya ketimbang harus menjelaskan bahwa pesawat Ren jatuh ke
laut dan mayatnya tak pernah ditemukan. (hal. 6).
Penulis juga mampu merangkaikan kata-kata sehingga
membentuk perumpamaan atau simile yang tertata indah dengan menggunakan kata seperti,
bagai . Perumpamaan itu terdapat pada kutipan berikut:
1)
Tapi gadis kecil itu malah mempercepat larinya. Seperti
capung ia melintas halaman (hal. 1).
2)
Ren merawat kartu pos itu seperti merawat kenangan.
(hal. 3).
3)
Marwan mendapati sepotong kain serupa kartu pos dipegangi
anaknya. Marwan
menerima dan mengamati kain itu. Kain kafan yang tepiannya kecokelatan bagai
bekas terbakar. (hal. 7).
Selain hal di atas, dalam cerpen ini kata-kata dirangkai
sedemikian rupa sehingga mampu menimbulkan nuansa mistik seperti yang terdapat
dalam kutipan berikut ini.
1)
Ketukan gugup di pintu membuat Marwan bergegas bangun. (hal. 6).
2)
Dua belas lewat, sekilas ia melihat jam kamarnya. ”Ada
apa?” Marwan mendapati Bik Sari yang pucat. ”Beningnya.... Bergegas Marwan
mengikuti Bik Sari. Dan ia tercekat di depan kamar anaknya. Ada cahaya terang
keluar dari celah pintu yang bukan cahaya lampu. Cahaya yang terang keperakan.
Dan ia mendengar Beningnya yang cekikikan riang, seperti tengah bercakap-cakap
dengan seseorang. Hawan dingin bagai merembes dari dinding. Bau wangi yang
ganjil mengambang. Dan cahaya itu makin menggenangi lantai. Rasanya ia hendak
terserap amblas ke dalam kamar. (hal. 6).
3)
Ia melongok ke dalam kamar, tak ada api, semua rapi.
(hal. 6).
4)
” Tadi Mama datang,” pelan Beningnya bicara. Kata Mama
tukang posnya emang sakit, jadi Mama mesti nganter kartu posnya sendiri....”
(hal. 7).
KESIMPULAN
Dari seluruh pembahasan akhirnya dapat disimpulkan
bahwa cerpen “Dinding Waktu” karya Danarto,
”Cincin Kawin” karya Danarto, ”Kartu Pos dari Surga” karya Agus
Noor, kaya akan gaya bahasa, baik gaya
bahasa berdasarkan struktur kata dan kalimat maupun gaya bahasa berdasarkan
langsung tidaknya makna. Gaya bahasa
berdasarkan struktur kata-kata yang secara dominan dimanfaatkan adalah repetisi,
klimaks, paralelisme sedangkan gaya bahasa berdasarkan maknanya adalah hiperbol,
personifikasi (bersifat kiasan), simile.
Semua gaya bahasa tersebut berfungsi mempertinggi frekuensi suasana yang
mendukung karakter dari masing-masing tokoh yang ada dalam ketiga cerpen
tersebut. Pengarang mengunakan pilihan leksikal secara tepat dengan
memanfaatkan kosa kata yang bernuansa daerah di samping untuk mempertegas alur
cerita juga untuk menentukan aspek kultur yang ada dsalam cerpen. Pilihan kata
dalam cerpen ”Dinding Waktu” dan ”Cincin Kawin” keduanya karya Danarto memiliki
makna yang tinggi, karena kedua cerpen tersebut tergolong dalam cerpen absurd.
Sedangkan cerpen ”Kartu Pos dari Surga” karya Agus Noor, menggunakan pilihan
kata yang mampu mengilustrasikan kesan yang mistis dalam alur cerita.
DAFTAR PUSTAKA
Aftarudin, Pesu. 1984. Pengantar
Apresiasi Puisi. Bandung: PT Angkasa.
Aminuddin. 1987. Pengantar
Apresiasi Karya Sastra. Bandung: Sinar Baru.
Danarto, 1990. ”Dinding
Waktu” . Dalam Kompas, 21 Januari 1990.
Darma, Budi. 1990. ”Perihal
Studi Sastra”. Dalam Basis,
Agustus 1990.
Junus, Umar. 1989. Stilistik suatu Pengantar. Kuala Lumpur: Dewan Bahasa dan Pustaka.
Keraf, Gorys, 1985. Diksi dan Gaya Bahasa. Jakarta: Gramedia.
Kridalaksana, Harimurti. 1983. Kamus Linguistik.
Jakarta: Gramedia.
Nurgiantoro, Burhan. 1995. Teori
Pengkajian Fiksi. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press.
Pradopo, Racmat Djoko. 1995.
Beberapa Teori Sastra, Metode Kritik, dan Penerapannnya. Yogyakarta: Pustaka
Pelajar.
Sumarjo, Jakob. 1984. Memahami Kesusastraan. Bandung: Alumni.
Sudjiman, Panuti. 1993. Bungai
Rampai Stilistika. Jakarta: Pustaka Utama.
Wellek, Rene dan Austin
Warren. 1990. Teori Kesusastraan. Terjemahan Melani Budianta. Jakarta:
Gramedia.
Biodata Penulis:
Drs. Supriyono, MM adalah adalah
staf pengajar Program Studi Pendidikan Bahasa Indonesia STKIP PGRI Bandar
Lampung.
|
cerpen nya bagus sekali...cerpen ini sangat menginspirasi saya..
BalasHapusLuar biasa ilmu yang diberikan, saat mengerjakan tugas Stilistika, saya diberikan kemudahan dengan adanya halaman ini. terimakasih pak Supriyono.
BalasHapus