PEMECAHAN
MASALAH SEBAGAI TUJUAN DAN PROSES
DALAM
PEMBELAJARAN MATEMATIKA
Oleh: Joko Sutrisno AB
Dosen PNS Dpk Kopwil II STKIP PGRI Bandar Lampung
ABSTRAK
Kemampuan pemecahan masalah merupakan salah satu
tujuan atau kompetensi yang akan dicapai dalam pembelajaran matematika. Pemecahan masalah dapat
juga merupakan metode yang dapat diterapkan dalam pembelajaran matematika. Pemecahan masalah sebagai tujuan dan sebagai
proses merupakan kegiatan yang penting dalam pembelajaran matematika, karena
kemampuan pemecahan masalah yang diperoleh dalam suatu pembelajaran matematika
pada umumnya dapat ditransfer untuk digunakan dalam memecahkan masalah lain. Semua pemecahan masalah
melibatkan beberapa informasi dan untuk mendapatkan penyelesaiannya digunakan
informasi tersebut. Informasi-informasi ini pada umumnya merupakan
konsep-konsep atau prinsip-prinsip dalam matematika.
1. Pendahuluan
Hasil belajar dan pembelajaran matematika pada pendidikan dasar dan
menengah sampai saat ini belum seperti yang diharapkan. Padahal matematika
sebagai salah satu ilmu dasar, baik aspek terapan maupun aspek penalarannya,
mempunyai peranan yang sangat penting dalam upaya penguasaan ilmu dan
teknologi.
Rendahnya prestasi atau hasil belajar matematika disebabkan oleh
kurangnya penguasaan konsep dan prinsip oleh siswa. Penyebab lain adalah
kesalahan pendekatan dan metode yang digunakan dalam pembelajaran. Lemahnya
penguasaan konsep dan prinsip matematika oleh siswa, dapat mengakibatkan
kemampuan siswa dalam pemecahan masalah
akan lemah pula, sedangkan kemampuan pemecahan masalah sangat penting
dalam pembelajaran matematika. Zulkardi (2001 : 1) menyatakan bahwa sampai
saat ini pendekatan pembelajaran matematika di Indonesia masih menggunakan
pendekatan tradisional dan bersifat mekanistik yang menekankan pada latihan
mengerjakan soal atau drill and practice,
prosedural serta banyak menggunakan rumus dan algoritma sehingga siswa dilatih
mengerjakan soal seperti mekanik atau mesin. Konsekuensinya bila mereka
diberikan soal yang berbeda dari soal latihan, mereka akan membuat kesalahan.
Mereka kurang terbiasa memecahkan masalah yang banyak di sekeliling mereka.
Wahyudin (1999 : 155) menyatakan bahwa metode/strategi/pendekatan yang
paling sering digunakan oleh umumnya (sebesar 90%) guru matematika dalam
pembelajaran matematika adalah kombinasi ceramah dan ekspositori. Akibatnya
problem solving yang sesungguhnya merupakan sentralnya pembelajaran matematika,
tidak pernah dikenal dengan baik apalagi untuk mencobanya.
Pentingnya pemecahan masalah ini dikemukakan oleh Bell (1981 : 311),
bahwa pemecahan masalah merupakan kegiatan yang penting dalam pembelajaran
matematika, karena kemampuan pemecahan masalah yang diperoleh dalam suatu
pembelajaran matematika pada umumnya dapat ditransfer untuk digunakan dalam
memecahkan masalah lain. Kemampuan siswa dalam pemecahan masalah, sangat
tergantung kepada guru sebagai pembimbing yang harus bertindak sebagai
motivator dan fasilitator yang baik.
2. Pemecahan Masalah dalam Matematika
Dalam pembelajaran matematika, masalah-masalah yang sering dihadapi
siswa berupa soal-soal atau tugas-tugas yang harus diselesaikan siswa.
Pemecahan masalah dalam hal ini adalah aturan atau urutan yang dilakukan siswa
untuk memecahkan soal-soal atau tugas-tugas yang diberikan kepadanya. Semua pemecahan masalah melibatkan beberapa
informasi dan untuk mendapatkan penyelesaiannya digunakan informasi tersebut. Informasi-informasi ini
pada umumnya merupakan konsep-konsep atau prinsip-prinsip dalam
matematika.
Pengertian
pemecahan masalah menurut Cooney (dalam Kisworo, 2000 : 19), merupakan proses
menerima masalah dan berusaha menyelesaikan masalah itu. Sedangkan Polya (dalam
Hudoyo, 1979 : 112) mendefinisikan pemecahan masalah sebagai usaha mencari
jalan keluar dari suatu kesulitan, mencapai suatu tujuan yang tidak dengan
segera dapat dicapai. Selanjutnya Polya menyatakan bahwa pemecahan masalah
merupakan suatu tingkat aktivitas intelektual yang sangat tinggi. Pemecahan
masalah adalah suatu aktivitas intelektual untuk mencari penyelesaian masalah
yang dihadapi dengan menggunakan bekal pengetahuan yang sudah dimlliki.
Nicholas A. Branca
(dalam Krulik, S. dan Robert E. Reys, 1980 : 3)
mengungkapkan tiga interpretasi umum tentang pemecahan masalah, yaitu :
pemecahan masalah sebagai tujuan (goal),
pemecahan masalah sebagai proses (process),
dan pemecahan masalah sebagai keterampilan dasar (basic skill).
Pemecahan masalah sebagai
tujuan menyangkut alasan mengapa matematika itu diajarkan dan apa tujuan
pembelajaran matematika. Dalam interpretasi ini, pemecahan masalah bebas dari
masalah khusus, prosedur atau metode, dan konten matematika. Yang menjadi
pertimbangan utama adalah belajar bagaimana memecahkan masalah, merupakan
alasan utama untuk belajar matematika.
Pemecahan
masalah sebagai proses muncul dari interpretasinya sebagai proses dinamik dan
terus menerus. The National Council of Supervisors of Mathematics (dalam
Krulik, S. dan Robert E.Reys, 1980 : 4) mendefinisikan pemecahan masalah
sebagai “proses menerapkan pengetahuan yang telah diperoleh sebelumnya kedalam
situasi baru dan tak dikenal”. Yang menjadi pertimbangan utama dalam hal ini
adalah metode, prosedur, strategi, dan heuristics yang siswa gunakan dalam
memecahkan masalah.
Sedangkan pemecahan masalah
sebagai keterampilan dasar, menyangkut dua pengertian yang banyak digunakan, yaitu
: (1) keterampilan minimum yang harus dimiliki siswa dalam matematika, (2)
keterampilan minimum yang diperlukan seseorang agar dapat menjalankan fungsinya
dimasyarakat.
Menururt Hudoyo
(1979 : 165), Pemecahan masalah merupakan suatu hal yang esensial dalam
pembelajaran matematika, sebab :
1) Siswa menjadi terampil menyeleksi informasi
yang relevan, kemudian menganalisanya dan akhirnya meneliti hasilnya;
2) Kepuasan intelektual akan timbul dari dalam,
merupakan masalah intrinsik bagi siswa;
3) Potensial intelektual siswa meningkat;
4) Siswa belajar bagaimana melakukan penemuan
dengan melalui proses melakukan penemuan.
Manfaat kemampuan
pemecahan masalah dikemukan juga oleh Soedjadi (dalam Kisworo, 2000 : 20),
bahwa keberhasilan seseorang dalam kehidupannya banyak ditentukan oleh
kemampuan untuk memecahkan masalah yang dihadapinya.
Mengenai aturan atau urutan berupa langkah-langkah dalam pemecahan
masalah, sudah banyak ahli yang mengemukakannya. Gagne (dalam Ruseffendi, 1991 : 169)
mengatakan bahwa dalam pemecahan masalah biasanya ada 5 langkah yang harus
dilakukan:
a)
menyajikan
masalah dalam bentuk yang lebih jelas;
b)
menyatakan
masalah dalam bentuk yang operasional (dapat dipecahkan);
c)
menyusun
hipotesis-hipotesis alternatif dan prosedur kerja yang diperkirakan baik untuk
dipergunakan dalam memecahkan masalah itu;
d)
mengetes
hipotesis dan melakukan kerja untuk memperoleh hasilnya pengumpulan data,
pengolahan data, dan lain-lain); hasilnya mungkin lebih
dari sebuah;
e)
memeriksa
kembali (mengecek) apakah hasil yang diperoleh itu benar; mungkin memilih pula
pemecahan yang paling baik.
Polya (dalam Ruspiani, 2000 : 22) menempatkan pengertian sebagai langkah
awal dalam empat pemecahan masalah (problem solving). Keempat langkah tersebut
adalah: 1) memahami masalah, 2) merencanakan penyelesaian, 3) melaksanakan
perhitungan, 4) memeriksa kembali proses dan hasil.
Berbagai macam tahapan pemecahan masalah yang dikemukakan para pakar,
pada prinsipnya dalam pemecahan masalah dilakukan secara teratur dan logis agar
diperoleh kebenaran yang reliabel. Dapat dijelaskan pula, bahwa tahap-tahap
pemecahan masalah tersebut mencakup :
[
1) Perumusan Masalah
Pada tahap ini dimulai dengan memahami apa yang
ditanyakan. Melakukan identifikasi terhadap situasi yang dikatakan sebagai suatu
masalah. Kemudian merumuskan atau memformulasikan masalah dalam bentuk yang
lebih jelas.
2) Pengumpulan Data/Informasi
Pada tahap ini dilakukan pengumpulan data atau
informasi yang diperlukan. Mengemukakan data-data dan informasi-informasi yang
relevan dengan masalah yang akan diselesaikan.
3) Analisa/Perhitungan
Pada tahap ini, berkenaan dengan memadukan data-data,
informasi, serta konsep-konsep apa saja yang diperlukan. Melakukan perhitungan
serta menyusun penyelesaian untuk memecahkan soal.
4) Menarik Kesimpulan
Dari alternatif pemecahan masalah yang telah dipilih,
diambil kesimpulan atau jawaban berdasarkan analisa data yang telah
dilakukan.
3. Pembelajaran
Pemecahan Masalah
Pembelajaran pemecahan masalah merupakan salah satu
bentuk pembelajaran yang didasarkan pada paham konstruktivisme. Dengan pendekatan konstruktivisme, guru tidak
dapat begitu saja memberikan pengetahuan jadi kepada siswanya. Agar pengetahuan yang diberikan bermakna,
siswa sendirilah yang harus memproses informasi yang diterimanya,
menstrukturnya kembali dan mengintegrasikannya dengan pengetahuan yang
dimilikinya. Dalam proses ini guru
berperan memberi dukungan dan memberi kesempatan pada siswa untuk menerapkan
ide mereka sendiri dan stategi mereka dalam belajar. Ide pokok dari pendekatan konstruktivisme
adalah siswa secara aktif membangun pengetahuannya sendiri.
Sudjimat (1996 :
28) mengatakan bahwa : “Belajar pemecahan masalah pada hakekatnya adalah
belajar berpikir (learning to think) atau belajar bernalar (learning to
reason), yaitu berpikir atau bernalar mengaplikasikan pengetahuan-pengetahuan
yang telah diperoleh sebelumnya untuk memecahkan masalah-masalah baru yang
belum pernah dijumpai sebelumnya. Karena itu pembelajaran yang bernuansa
pemecahan masalah harus dirancang sedemikian rupa sehingga mampu merangsang
siswa untuk berpikir dan mendorong siswa menggunakan pikirannya secara sadar
untuk memecahkan masalah”.
Untuk menumbuhkan kemampuan pemecahan masalah pada diri siswa, menurut
Soedjadi (dalam Kisworo, 2000 : 20) proses belajar mengajar matematika harus
mengacu atau berorientasi kepada :
1)
Optimalisasi
interaksi antar unsur-unsur dalam proses belajar mengajar, yaitu guru, siswa
dan sarana;
2)
Optimalisasi
keikutsertaan seluruh sense siswa, termasuk di dalamnya pengertian learning by
doing.
Ruseffendi (1988 :
241) menyatakan bahwa : “Pemecahan masalah adalah pendekatan yang bersifat umum
yang lebih mengutamakan kepada proses daripada hasilnya (out-put)”. Jadi aspek
proses merupakan faktor yang utama dalam pembelajaran pemecahan masalah,
bukannya aspek produk sebagaimana dijumpai pada pembelajaran konvensional
(tradisional). Pengertian proses dalam hal ini menurut Sabandar (2001 : 1)
terkandung makna bahwa ketika siswa belajar matematika ada proses reinvention
(menemukan kembali). Artinya, prosedur, algoritma, aturan yang harus dipelajari
tidaklah disediakan dan diajarkan oleh guru dan siswa siap menampungnya, tetapi
siswa harus berusaha menemukannya.
Berdasarkan
pendapat tersebut diatas, maka pembelajaran pemecahan masalah menghendaki siswa
belajar secara aktif, bukannya guru yang lebih aktif dalam menyajikan materi
pelajaran. Dengan belajar aktif, dapat menumbuhkan sifat kreatif. Sifat kreatif
yang dimaksud adalah sifat kreatif mencari sendiri, menemukan sendiri, merumuskan
sendiri, atau menyimpulkan sendiri. Dengan demikian pemahaman
terhadap proses terbentuknya
suatu konsep lebih diutamakan.
Dalam memecahkan
suatu masalah, diperlukan strategi yaitu prosedur/teknik-teknik yang berguna
untuk memecahkan berbagai masalah dalam tingkat kesulitan yang bervariasi. Oleh
sebab itu strategi pemecahan masalah sangat penting dalam pembelajaran
pemecahan masalah. Dengan strategi
tersebut siswa akan
lebih terarah dalam memahami
dan memecahkan masalahnya. Hal ini sesuai dengan pendapat Nasution, S. (1982 :
175) bahwa strategi merupakan bagian penting dalam pemecahan masalah dan dalam
pelajaran umumnya. Dimana strategi itu dipelajari sendiri oleh individu dan
biasanya tidak termasuk sebagai sebagian tujuan pelajaran.
The National
Council of Supervisors of Mathematics (1977) (dalam Krulik, S. dan Robert E.
Reys, 1980 : 4) menyatakan bahwa strategi pemecahan masalah meliputi mengajukan
pertanyaan, analisis situasi, menerjemahkan hasil, mengilustrasikan hasil,
menggambar diagram, dan menggunakan trial and error. Dalam pemecahan masalah,
siswa harus bisa menerapkan aturan-aturan logika yang diperlukan untuk sampai
pada konklusi yang valid. Mereka harus dapat menentukan fakta-fakta mana yang
relevan. Mereka harus tidak takut untuk mencapai kesimpulan sementara, dan
mereka harus berkeinginan untuk meneliti dengan seksama kesimpulan tersebut.
Pemberian latihan
pemecahan masalah yang tepat sangat dianjurkan dalam pembelajaran pemecahan
masalah. Salah satu alasannya adalah seperti yang dikemukakan oleh Sudjimat
(1996 : 30) yaitu : “Dengan memberikan latihan yang banyak siswa akan memiliki
pengalaman yang baik dalam pemecahan masalah. Disamping itu, dengan memberikan
latihan yang menantang
dan bermakna bagi siswa maka motivasi belajar siswa akan
dapat meningkat”.
Selain itu, dalam pembelajaran pemecahan masalah harus memperhatikan
pentingnya perubahan peran guru. Menurut Sudjimat (1996 : 30), “Dalam
pembelajaran pemecahan masalah guru bukannya berperan sebagai pemberi informasi
dan penceramah, tetapi guru harus berperan sebagai fasilitator, motivator,
pelatih, dan manajer bagi siswa”. Dari pendapat tersebut berarti guru
bertanggungjawab untuk membimbing dan memotivasi siswa agar dapat memahami
konsep-konsep yang dipelajari. Juga guru tidak menyajikan materi pelajaran
dalam bentuk jadi, tetapi sebaliknya siswa yang aktif dalam menemukan konsep.
Selain itu juga guru harus mampu memberi bantuan belajar, mencarikan sumber
belajar yang diperlukan siswa. Jadi siswa tidak belajar matematika dengan hanya
menerima dan menghafalkannya saja.
Dengan peran guru seperti di atas, diharapkan siswa dapat belajar secara
aktif, memiliki kesempatan belajar yang lebih banyak, mendapatkan pengalaman
belajar yang lebih banyak dan lebih bermakna, serta menikmati lingkungan
belajar yang lebih menyenangkan. Menurut Ausubel (dalam Dahar, 1996 : 110),
belajar bermakna akan terjadi jika siswa dapat menghubungkan atau mengaitkan
informasi atau pengetahuan (berupa konsep-konsep atau lain-lain) yang telah
dimilikinya. Dengan kata lain, belajar bermakna adalah belajar yang menekankan
pada proses pembentukan konsep.
Dalam kegiatan pembelajaran dengan strategi pemecahan masalah, penekanan
kegiatan ditujukan pada apa yang harus dipecahkan dan bagaimana memecahkan
permasalahan itu secara sistematis dan logis. Siswa diharapkan dapat
menggunakan operasi berpikir tingkat tinggi yang memungkinkan siswa untuk dapat
memecahkan masalahnya.
Suatu kondisi yang mendukung terlaksananya kegiatan pemecahan masalah
diantaranya adalah keinginan atau ketertarikan siswa terhadap masalah yang
dihadapinya. Jacobson, Lester, dan Stengel (dalam Krulik, S. dan Robert E.
Reys, 1980 : 127) mengajukan tiga prinsip dasar agar siswa tertarik untuk
menyelesaikan masalah, yaitu :
1)
Berikan kepada siswa pengalaman langsung, aktif, dan
berkesinambungan dalam menyelesaikan soal-soal beragam;
2)
Ciptakan hubungan yang positif antara minat siswa dalam
menyelesaikan soal dengan keberhasilan mereka; dan
3)
Ciptakan hubungan yang akrab antara siswa, permasalahan,
prilaku pemecahan masalah, dan suasana kelas.
4. Penutup
Dalam pembelajaran matematika, masalah-masalah yang sering dihadapi
siswa berupa soal-soal atau tugas-tugas yang harus diselesaikan siswa.
Pemecahan masalah dalam hal ini adalah aturan atau urutan yang dilakukan siswa
untuk memecahkan soal-soal atau tugas-tugas yang diberikan kepadanya. Semua pemecahan masalah melibatkan beberapa
informasi dan untuk mendapatkan penyelesaiannya digunakan informasi tersebut. Informasi-informasi ini
pada umumnya merupakan konsep-konsep atau prinsip-prinsip dalam
matematika.
Pemecahan masalah sebagai tujuan dan sebagai proses merupakan kegiatan
yang penting dalam pembelajaran matematika, karena kemampuan pemecahan masalah
yang diperoleh dalam suatu pembelajaran matematika pada umumnya dapat
ditransfer untuk digunakan dalam memecahkan masalah lain.
Pembelajaran
pemecahan masalah merupakan pembelajaran konstruktivisme. Dalam pembelajaran
ini guru bertanggungjawab untuk membimbing dan memotivasi siswa agar dapat
memahami konsep-konsep yang dipelajari. Juga guru tidak menyajikan materi
pelajaran dalam bentuk jadi, tetapi sebaliknya siswa yang aktif dalam menemukan
konsep. Selain itu juga guru harus mampu memberi bantuan belajar, mencarikan sumber
belajar yang diperlukan siswa. Jadi siswa tidak belajar matematika dengan hanya
menerima dan menghafalkannya saja.
DAFTAR PUSTAKA :
Bell, F.H. (1978). Teaching and Learning Mathematics in
Scondary School. New York : Wm C. Brown Company Publiser.
Dahar, Ratna Wilis.
(1996). Teori-Teori Belajar. Jakarta
: Erlangga
Hudoyo, H. (1979). Pengembangan Kurikulum Matematika & Pelaksanaanya di Depan Kelas. Surabaya : Usaha Nasional.
Kisworo, A. (2000). Pembelajaran Pemecahan
Masalah pada Pembelajaran Geometri di Kelas I SMU Petra 5 Surabaya.
Tesis. Surabaya : PPS Universitas Negeri
Surabaya.
Krulik, Stephen dan
Robert E. Reys. (1980). Problem Solving
in School Mathematics. Virginia. NCTM.
Nasution, S.
(1982). Berbagai Pendekatan Dalam Proses Belajar Mengajar. Edisi
Pertama. Jakarta : Bina Aksara.
Ruseffendi, E. T.
(1988). Pengantar Kepada Membantu Guru
Mengem-bangkan Kompetensinya Dalam Pengajaran Matematika Untuk Meningkatkan
CBSA. Bandung: Tarsito.
Ruseffendi, E.T. (1991). Pengantar Kepada Membantu Guru Mengembangkan
Kompetensinya dalam Pengajaran
Matematika untuk Meningkatkan CBSA. Bandung : Tarsito.
Ruspiani. (2000). Kemampuan Siswa dalam Melakukan Koneksi Matematika. Tesis : PPS UPI, Bandung.
Sudjimat, Dwi Agus.
(1996). Pembelajaran Pemecahan Masalah :
Tinjauan Singkat Berdasar Teori Kognitif. Jurnal Pendidikan Humaniora dan
Sains. Malang : IKIP Malang.
Wahyudin. (1999). Kemampuan
Guru Matematika, Calon Guru Matematika, Dan Siswa Dalam Mata Pelajaran
Matematika. Disertasi. Bandung : IKIP Bandung.
Zulkardi. (2001). Realistic Mathematics Education : Teori,
Contoh Pembelajaran Dan Taman Belajar di Internet. Makalah disajikan pada
seminar sehari “Realistic Mathematics Education” di kampus UPI. Bandung, 4
April 2001.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar