Kamis, 07 Februari 2013

PILIHAN LEKSIKAL DALAM CERPEN


PILIHAN LEKSIKAL DALAM CERPEN

Supriyono
STKIP PGRI Bandar Lampung

Abstrak

Banyak kalangan menyatakan bahwa hingga saat ini kehidupan perkembangan studi apresiasi, atau kritik sastra di Indonesia belum mencapai puncak yang menggembi-rakan. Pernyataan ini jika kita cermati tidaklah berlebihan karena realita menunjuk-kan bahwa, seperti yang dapat kita amati dan rasakan selama ini, keberadaan studi dan kritik sastra hanyalah bagai riak kecil di tengah gelombang samudra luas karya sastra. Hal tersebut terbukti, pada ruang  publik sastra dan budaya di berbagai majalah dan surat kabar. Nyata bahwa publikasi apresiasi sastra hanya sekali muncul di tengah riuh rendah kehadiran karya sastra, misalnya puisi atau cerpen.

Tulisan dalam makalah ini merupakan suatu wujud apresiasi terhadap karya sastra (cerpen), yaitu mencoba menganalisis unsur-unsur leksikal yang dikemas dalam sebuah stilistika pada sebuah cerpen. Dengan secara sederhana kelompok ini menco-ba mengurai penggunaan kata-kata yang ada dalam cerpen yang dibahas, serta meli-hat secara sepintas tentang stilistika yang ada di dalamnya.

Dari seluruh pembahasan akhirnya dapat disimpulkan bahwa cerpen “Dinding Waktu” karya Danarto,  ”Cincin Kawin” karya Danarto, ”Kartu Pos dari Surga” karya Agus Noor,  kaya akan gaya bahasa, baik gaya bahasa berdasarkan struktur kata dan kalimat maupun gaya bahasa berdasarkan langsung tidaknya makna.  Pengarang mengunakan pilihan leksikal secara tepat dengan memanfaatkan kosa kata yang bernuansa daerah di samping untuk mempertegas alur cerita juga untuk menentukan aspek kultur yang ada dsalam cerpen. Pilihan kata dalam cerpen ”Dinding Waktu” dan ”Cincin Kawin” keduanya karya Danarto memiliki makna yang tinggi, karena kedua cerpen tersebut tergolong dalam cerpen absurd. Sedangkan cerpen ”Kartu Pos dari Surga” karya Agus Noor, menggunakan pilihan kata yang mampu mengilustrasikan kesan yang mistis dalam alur cerita.

Kata Kunci: Pragmatik, pendekatan pengajaran  bahasa

PENDAHULUAN

 

Cerpen merupakan suatu hasil cipta sastra. Sastra merupakan suatu komunikasi seni yang hidup bersama bahasa.  Tanpa bahasa, sastra tak mungkin ada.  Melalui bahasa ia dapat mewujudkan dirinya berupa sastra lisan, maupun tertulis.  Oleh karena perwujudan sastra menggunakan bahasa, maka orang sering bertanya; “Sifat dan warna bahasa yang bagaimanakah yang dipergunakan oleh sastra, khususnya dalam cerpen sehingga isi yang dibawakannya begitu sulit untuk dicerna ?”


Mengapa hasil-hasil sastra yang sampai pada kita atau pembaca, isinya begitu menukik, dan begitu cantik? Jawabnya tak lain, karena bahasa yang dipergunakannya jauh berbeda dengan bahasa yang terdapat pada Ilmu Sejarah, Biologi, Geografi atau pun buku-buku sosial lainnya.  Sifat bahasa pada ilmu-ilmu di atas pada hakikatnya setiap kata bertugas menterjemahkan arti benda yang ditunjukkannya.  Setiap kata hanya memiliki arti pusat yang ditunjuk oleh kata itu. Antara kata dan benda yang ditunjuknya langsung bersatu, tak berjarak.  Jalan bahasanya berdasarkan hukum akal, sebab akibat, karena setiap kata mengemban tugas yang ketat yakni arti pokok yang disebut kata itu. Semuanya  serba rasional. Penggunaan kata-kata seperti ini dikenal dengan sebutan denotatif.

Pada sastra, tidak demikian.  Sastra khususnya fiksi, di samping sering disebut dunia dalam kemungkinan, juga dikatakan sebagai dunia dalam kata (Nurgiyantoro, 1995:271). Sastra membawa bahasa dengan sifatnya sendiri.  Selain menggunakan kata-kata yang bermakna denotatif, dalam sastrapun banyak kita temukan kata-kata yang bermakna konotatif. Melalui bahasa konotatif seseorang akan dapat mengungkapkan perasaannya dengan suasana jiwa. Bahasa konotatif tidak mementingkan arti, tetapi mementingkan bobot dan gaya serta keluasan tapsiran. Melalui gaya atau stilistika seorang penulis cerpen akan mampu menggunakan kata-kata yang dapat menimbulkan rasa empati, dan kesan imajinasi yang mendalam  kepada para pembaca. Dengan kata-kata inilah cerpen akan menunjukkan eksistensinya yang berbeda dengan karya nonfiksi.

Cerpen, cenderung menggunakan kedua cara berbahasa di atas, tetapi yang paling dominan adalah penggunaan bahasa konotatif, yakni bahasa yang mendukung emosi dan suasana hati.  Setiap ungkapan di dalam hasil sastra, kata-kata tidak hanya terikat oleh arti pusat saja, tetapi kadang-kadang mempunyai arti imajinatif.  Matahari misalnya, kadang-kadang bukan matahari dalam arti fisik, tetapi matahari dalam angan-angan, atau matahari yang lain.  Demikianlah karya sastra tercipta akibat pertemuan dunia batin pengarang dengan dunia batin sumber ilham.

Karena itu kadang-kadang ungkapan-ungkapan dalan cerpen tidak lagi tunduk pada hukum-hukum tata bahasa tetapi terpaksa menempuh jalannya sendiri demi untuk mencapai tujuan keindahan yang dikejar oleh penulisnya. Dalam cerpen kita akan dapat memasuki akal pikiran  dengan bahasa denotatif dan menuruni ke dalaman jiwa kita lewat bahasa konotatif.

Berdasarkan uraian di atas, artikel ini akan membahas unsur-unsur leksikal yang terdapat dalam suatu cerpen.

Pengertian Cerpen

Cerita pendek adalah cerita yang membatasi diri dalam membahas salah satu unsur fiksi dalam aspeknya yang terkecil (Sumardjo, 1984:69). Pendapat yang lain me-ngemukakan cerpen adalah kisahan yang memberikan kesan tunggal yang dominan tentang satu tokoh dalam satu latar dan satu situasi dramatic (Zaidan, 2004:50).

Berdasarkan kedua pendapat di atas dapat dijabarkan bahwa kependekan sebuah cerita pendek bukan karena bentuknya yang jauh lebih pendek dari novel, tetapi ka-rena aspek masalahnya yang sangat dibatasi.  Dengan pembatasan ini maka sebuah masalah akan tergambarkan jauh lebih jelas dan jauh lebih mengesankan bagi pem-baca.  Kesan yang ditinggalkan oleh sebuah cerita pendek harus tajam dan dalam, sehingga sekali membacanya kita tak akan mudah lupa.  Kalau sebuah cerita pendek menggambarkan watak pelit seorang tokoh, misalnya, pengarang harus mencerita-kannya secara ringkas, cermat, memilih adegan yang sangat penting saja, sehingga sifat kepelitan itu muncul dengan jelas, jernih dan tajam.  Inilah sebabnya sifat se-leksi amat penting dalam cerita pendek. Segala sesuatunya harus diseleksi secara cermat sehingga titik yang dituju cerita pendek menjadi terfokus benar.  Menulis ce-rita pendek merupakan seni yang sulit.  Cerita pendek membutuhkan kepekaan penu-lisnya untuk bersifat ekonomi dan pemilih dalam segala hal.  Tidak boleh ada unsur yang terbuang percuma dalam cerita pendek.

Struktur Leksikal
Yang dimaksud dengan struktur leksikal adalah bermacam-macam relasi semantik yang terdapat pada kata.  Hubungan antara kata itu dapat berwujud:  sinonim, poli-semi, homonimi, hiponimi, dan antonimi (Keraf, 1985:34). Kelima macam relasi antara kata itu dapat dikelompokkan atas:
1)     relasi antara bentuk dan makna yang melibatkan bersinonimi dan polisemi:
(a)    sinonimi: lebih dari satu bentuk bertalian dengan satu makna.
(b)    polisemi: bentuk yang sama memiliki lebih dari satu makna.
2)     relasi antara dua makna yang melibatkan hiponimi dan antonimi:
(a)      hiponimi: cakupan-cakupan makna dalam sebuah makna yang lain.
(b)    antonimi: posisi sebuah makna di luar sebuah makna yang lain.
3)     relasi antara dua bentuk yang melibatkan homonimi, yaitu satu bentuk mengacu kepada dua referen yang berlainan.

Secara lengkap Gorys Keraf (1985:34-41) menjelaskan tentang kelima relasi antara kata itu sebagai berikut.

Sinonimi

Sinonimi adalah suatu istilah yang dapat dibatasi sebagai, (1) telaah mengenai bermacam-macam kata yang memiliki makna yang sama, atau (2) keadaan di mana dua kata atau lebih memiliki makna yang sama.  Sebaliknya, sinonimi adalah kata-kata yang memiliki makna yang sama (syn = sama, onoma = nama).

Dalam ilmu bahasa yang murni, sebenarnya tidak diakui adanya sinonim-sinonim.  Tiap kata mempunyai makna atau nuansa makna yang berlainan, walaupun ada ketumpang-tindihan antara satu kata dengan kata lain.  Ketumpang-tindihan makna inilah yang membuat orang menerima konsep sinonimi atau sinonim sebagai tujuan praktis guna mempercepat pemahaman makna sebuah kata yang baru, yang dikaitkan dengan kata-kata lama yang sudah dikenal.  Dengan demikian, proses perluasan kosa kata seseorang juga akan berjalan lebih lancar.

Walaupun ada penolakan mengenai adanya sinonim ini, ada juga ahli yang berpendi-rian bahwa bagaimana sekalipun ada juga kata-kata yang benar-benar bersinonim. Kesinoniman kata dapat diukur dua kriteria berikut:

(1)    Kedua kata itu harus saling bertukar dalam semua konteks; ini disebut sinonim total;
(2)    Kedua kata itu memiliki identitas makna kognitif dan emotif yang sama; hali ini disebut sinonim komplet.

Dengan kriteria ini dapat diperoleh empat macam sinonim, yaitu  (1)  sinonim yang total dan komplet, yang dalam kenyataan jarang ada; dan inilah yang dijadikan landasan untuk menolak adanya sinonim;  (2)  sinonim yang tidak total tetapi komplet;  (3)  sinonim yang total tetapi tidak komplet;  (4)  sinonim yang tidak total dan tidak komplet, semuanya tergantung dari sudut pemenuhan kedua kriteria di atas. 

Dengan kriteria itu, kita masih menerima bahwa kata manipulasi bersinonim dengan kecurangan, penggelapan, penimbunan, spekulasi.  Namun tidak ada sinonim total dan komplet antara dua kata atau lebih dari kata-kata yang bersinonim itu.  Demikian pula bila dikatakan bahwa kata stabil bersinonim dengan kata mantap, kuat, tak go-yah, tetap, kukuh, atau kata senang bersinonim dengan kata puas, lega, tidak susah, tidak kecewa, betah, berbahagia, suka, gembira, sukarela, girang, nyaman tidak ter-dapat sinonim total dan komplet.  Tetapi dari perangkat kata-kata bersinonim itu, pasti ada yang termasuk dalam ketiga jenis sinonim yang lain.

Sinonim tak dapat dihindari dalam sebuah bahasa; pertama-tama ia terjadi karena proses serapan (borrowing).  Pengenalan dengan bahasa lain membawa akibat pene-rimaan kata-kata baru yang sebenarnya sudah ada padanannya dalam bahasa sendiri.  Dalam bahasa Indonesia sudah ada kata hasil kita masih menerima kata prestasi dan produksi; sudah ada kata jahat dan kotor masih diterima kata maksiat; sudah ada kata karangan masih dianggap perlu untuk menerima istilah baru risalah, artikel, maka-lah, atau esei.  Serapan ini bukan hanya menyangkut referen yang sudah ada katanya dalam bahasa sendiri, tetapi juga menyangkut referen yang belum ada katanya dalam bahasa sendiri.  Dalam hal ini sinonim terjadi karena menerima dua bentuk atau lebih dari sebuah bahasa donor, atau menerima beberapa bentuk dari beberapa bahasa do-nor seperti: buku, kitab, pustaka; sekolah dan madrasah; reklame, iklan, adpertensi.

Penyerapan kata-kata daerah ke dalam bahasa Indonesia, juga menjadi penyebab adanya sinonim.  Tempat kediaman yang berlainan mempengaruhi pula perbedaan kosa kata yang digunakan, walaupun referennya sama.  Kita mengenal kata tali dan tambang, parang dan golok, ubi kayu dan singkong, lempung dan tanah liat, dan sebagainya.  Hampir sama dengan kelas sinonim ini adalah sinonim yang terjadi karena pengambilan data dari dialek yang berlainan: tuli dan pekak, sore dan petang, dan sebagainya.

Faktor ketiga  yang menyebabkan adanya sinonim adalah makna emotif (nilai rasa) dan evaluatif.  Makna kognitif dari kata-kata yang bersinonim itu tetap sama, hanya nilai evaluatif dan nilai emotifnya berbeda:  ekonomis − hemat − irit, dara − gadis − perawan, kikir − pelit,  ingin − rindu − rindu − damba, sari − pati, mayat − jenazah − bangkai, mati − meninggal − gugur − wafat − mangkat, penyair − pujangga, kuat − perkasa − gagah berani, dan sebagainya.

Kata-kata bersinonim, di samping dapat dibedakan dari kriteria saling bergantian da-lam konteks dan identitas kandungan makna kognitif dan emotifnya, dapat juga di-adakan perbedaan lagi berdasarkan kolokasinya.  Kata belia misalnya bersinonim dengan kata taruna, remaja dan muda, tetapi kata yang boleh diikutinya dan dida-huluinya tidak sama.  Kita dapat mengatakan:  ia masih muda; ia masih remaja; ia masih muda belia.  Kita mengakui bahwa kata pahit bersinonim dengan getir, tetapi kita tidak dapat mengatakan bahwa obat itu sangat getir; kita dapat mengatakan:  obat itu sangat pahit, sementara dapat diterima konstruksi:  pengalaman yang pahit dan pengalan yang getir.

Polisemi dan Homonimi
Bila dalam sinonimi kita berbicara mengenai beberapa kata yang memiliki makna yang mirip, maka dalam polisemi kita mencatat kenyataan lain bahwa ada sebuah kata dapat memiliki bermacam-macam arti (poly = banyak, sema = tanda).  Kata polisemi yang berarti “satu bentuk mempunyai beberapa makna”, sangat dekat dengan sebuah istilah lain, yaitu homonimi yaitu “dua kata atau lebih tetapi memiliki bentuk yang sama”.  Dalam pokisemi kita hanya menghadap satu kata saja, sebaliknya dalam homonimi kita sebenarnya menghadapai dua kata atau lebih.

Kata korban dalam KUBI (Kamus Umum Bahasa Indonesia) dijelaskan sebagai memiliki makna  (1)  pemberian untuk menyatakan kebaktian,  (2)  orang yang menderita kecelakaan karena sesuatu perbuatan,  (3)  orang yang meninggal karena tertimpa bencana.  Ketiga makna ini berdekatan satu sama lain, dan dalam kamus biasanya ditempatkan di bawah satu topik yang sama.  Dari KUBI kita juga mencatat data yang lain, yaitu nada kata bisa I yang berarti  (1)  zat racun yang dapat menyebabkan luka, busuk atau mati pada sesuatau yang hidup,  (2)  mengandung zat racun (berbisa),  (3)  sesuatu yang pada buruk yang dapat merusak akhlak; dan  bisa II yaitu berarti:  dapat; boleh; mungkin.  Contoh pertama di atas (korban) adalah polisemi, dan contoh yang kedua (bisa I, bisa II) adalah homonimi.

Untuk menetapkan apakah suatu bentuk itu merupakan polisemi atau homonimi, kadang-kadang tidak selalu mudah.  Kamus-kamus biasanya menetapkan apakah sebuah kata itu polisemi atau homonimi berdasarkan etimologi atau pertalian historisnya.  Misalnya kata buku  adalah homonim, yaitu buku I adalah kata asli bahasa Indonesia yang berarti “tulang sendi”, dan buku II  yang berarti “kitab” atau “pustaka” berasal dari bahasa Belanda yang berarti “kertas bertulisan yang dijilid”; kata kopi juga adalah homonim walaupun kata kopi I berasal dari bahasa Belanda Koffie yang berarti “nama pohon dan biji yang digoreng untuk minuman”, dan kopi II yang berasal dari bahasa Inggris copy yang berarti “salinan (surat dan sebagainya)

Cara yang kedua adalah dengan mengetahui prinsip perluasan makna dari suatu makna dasar.  Salah satu daripadanya adalah metafora, yang didasarkan pada hubungan antara referen primer dan referen sekunder dari kata yang bersangkutan.  Misalnya referen primer bagi kata-kata:  mulut, mata, kepala, kaki, tangan dan sebagainya adalah bagian-bagian dari tubuh manusia.  Namun dalam perluasan berdasarkan prinsip metaforis bagian-bagian tubuh tersebut dapat digunakan juga untuk menyebut bagian dari:  sungai, jarum, pasukan, meja, gunung, kursi dan sebagainya.  Hubungan itu lahir dari kesamaan fungsi atau bentuk antara referen-referennya.

Dalam bahasa Indonesia kadang-kadang homonimi masih dapat dibedakan lagi atas homograf dan homofon, karena kesamaan bentuk itu dapat dilihat dari sudut ejaan maupun ucapan.  Ada homonim yang homograf dan homofon artinya baik ejaan maupun ucapannya sama, seperti tampak pada kata:  bisa I dan bisa II, alat I (perabot, perkakas) dan alat II (jamu, tamu), amat I (sangat) dan amat II (memperhatikan), buram I (konsep) dan buram II (tak bercahaya).  Ada homonim yang homograf yang tak homofon yang berarti ejaannya sama tetapi ucapannya berbeda, seperti:  sedan I (sedu, rintih) dan sedan II (mobil penumpang), seri I (cahaya) − seri II (mengisap) − seri III (balui) dan seri IV (rangkaian).  Dalam kasus ini seri I, II, III di satu pihak dan seri IV di pihak lain merupakan homonim yang homograf  yang tak homofon.  Contoh-contoh lain adalah mental I (terpelanting) dan mental II (batin, jiwa), seret I (sendat/tidak lancar) dan seret II (menghela maju) serang (menyerbu) dan  serang II (silau) serak I (parau) dan serak II (silau) serak I (parau) dan serak II (tersebar), semi I (tunas) dan semi II (setengah), sela I (celah, antara) dan sela (pelana), perang I (pertempuran) dan perang II (pirang), pepet II (himpit) dan sebagainya.  Dalam bahasa Indonesia masih terdapat homonim yang tidak homograf tetapi homofon, terutama yang ada kaitannya dengan fonem /h/ yang sering tidak diucapkan:  muda (remaja) dan mudah (gampang), tua (lanjut usia) dan tuah (untung, sakti), gaji (upah) dan gaji (gemuk, lemak), basa (bahasa) dan basah (mengandung air), bawa (angkut) dan bawah (lebih rendah), dan sebagainya.


Hiponimi

Hiponimi adalah semacam relasi antar kata yang berwujud atas bawah, atau dalam suatu makna terkandung sejumlah komponen yang lain.  Karena ada kelas atas yang mencakup sejumlah komponen yang lebih kecil, dan ada sejumlah kelas bawah yang merupakan komponen-komponen yang tercakup dalam kelas atas, maka kata yang berkedudukan sebagai kelas disebut superordinat dan kelas bawah yang disebut hiponim.

Kata bunga  merupakan suatu superordinat yang membawahi sejumlah hiponim antara lain:  mawar, melati, sedap malam, falmboyan, dan gladiol.  Tiap hiponim pada gilirannya dapat menjadi superordinat bagi sejumlah hiponim yang bernaung di bawahnya.  Misalnya ada mawar merah, mawar putih, mawar orange, dan sebagainya.  Dalam keterbatasan istilah dapat juga terjadi bahwa istilah yang sama dapat dipakai lebih dari satu kata bagi hirarki yang berbeda.  Misalnya kata binatang pertama-tama dipakai sebagai lawan dari tumbu-tumbuhan.  Kata binatang sebagai superordinat membawahi hiponim manusia dan binatang (hewan atau binatang tak berakal budi) yang tadinya menjadi hiponim, sekarang dapat bertindak lagi sebagai superordinat yang membawahi hiponim baru:  burung, ikan, insek, dan binatang penyusu.
 Untuk jelasnya, lihat skema berikut:


 










Dalam komposisi, sebuah hiponim dapat digantikan oleh superordinatnya sesudah penulis mengemukakan hiponim tadi.  Tetapi sebaliknya bila penulis berbicara mengenai sebuah superordinat ia tidak dapat menggantikan superordinat dengan hiponimnya.  Paling tinggi ia merangkaikan superordinat dengan hiponimnya sebagai suatu contoh atau ilustrasi.  Misalnya: “Ia memelihara sepuluh ekor anjing herder untuk menjaga rumahnya.  Binatang-binatang itu dengan setia mengadakan pengawalan siang dan malam.”  Binatang adalah mahluk yang sangat berguna bagi kehidupan manusia.  Anjing misalnya membantu manusia dalam berburu mencari jejak pencuri, menjaga keamanan rumah, dan sebagainya.”  Contoh pertama menunjukkan bahwa kata anjing berfungsi sebagai contoh dari superordinat itu.  Hal ini penting disadari dalam komposisi.

Antonim
Istilah antonimi dipakai untuk menyatakan “lawan makna”, sedangkan kata yang berlawanan disebut antonim.  Seringkali antonim dianggap sebagai lawan kata dari sinonim, namun anggapan itu sangat menyesatkan.  Antonim adalah relasi antar makna yang wujud logisnya sangat berbeda atau bertentangan: benci cinta, panas dingin, timur barat, suami istri, dan sebagainya.  Bila dibandingkan dengan sinonimi, maka antonimi merupakan hal yang wajar dalam bahasa. 

Walaupun kita menerima konsep antonimi secara umum, sebenarnya terdapat perbedaan antara bermacam-macam kata yang berantonim itu.  Oposisi antar kata dapat berbentuk:

(1)    Oposisi kembar:  oposisi yang menyangkut dua anggota seperti:  laki-laki wanita, jantan betina, hidup mati.  Ciri utama dari kelas antonim ini adalah penyangkalan terhadapo yang satu berarti penegasan terhadap anggota yang lain, penegasan terhadap yang satu berarti penyangkalan terhadap yang lain.  Misalnya:  Anak itu laki-laki = Anak itu bukan wanita; anak itu bukan laki-laki = anak itu wanita.
(2)    Oposisi majemuk:  oposisi yang mencakup suatu perangkat yang terdiri dari dua kata.  Oposisi ini bertalian terutama dengan hiponim-hiponim dalam sebuah kelas:  logam, species, binatang, tumbuhan-tumbuhan, buah-buahan, warna, dan sebagainya.  Ciri utama kelas antonim ini adalah:  penegasan terhadap suatu anggota akan mencakup penyangkalan atas tiap anggota lainnya secara terpisah, tetapi penyangkalan terhadap suatu anggota akan mencakup penegasan mengenai kemungkinan dari semua anggota lain.  Kalau dikatakan Baju itu merah, maka tercakup di dalamnya pengertian Baju itu tidak hijau; baju itu tidak putih; baju itu tidak hitam, dan sebagainya.  Sebaliknya, kalau dikatakan Baju itu tidak merah maka dalam kalimat itu tercakup pengertian:  Baju itu hijau atau baju itu putih atau baju itu hitam, dan sebagainya.
(3)    Oposisi gradual:  kelas ini sebenarnya suatu penyimpangan dari oposisi kembar, yaitu antara dua istilah yang berlawanan masih terdapat sejumlah tingkatan antara:  Antara kaya dan miskin, besar kecil, panjang lebih panjang panjang  pendek lebih pendek sangat pendek, dan sebagainya.  Ciri utama antonim ini adalah:  Penyangkalan terhadap yang satu tidak mencakup penegasan terhadap yang lain, walaupun penegasan terhadap yang satu menyangkut penyangkalan terhadap yang lain.  Misalnya:  Rumah kami tidak besar tidak mencakup pengertian Rumah kami kecil, walaupun Rumah kami besar mencakup pula pengertian Rumah kami tidak kecil.
(4)    Umumnya semua kata sufat dan adverbia termasuk kelompok ini, beberapa kata kerja (cinta, benci, setuju, dan sebagainya), beberapa kata penentu (sedikit, banyak, dan sebagainya).
(5)    Oposisi relasional (kebalikan):  adalah oposisi antara dua kata yang mengandung relasi kebalikan:  orang tua anak, suami istri, guru murid, penjual pembeli, menjual membeli, memberi menerima, mengajar belajar, meminjam meminjamkan, menghentikan berhenti, dan sebagainya.  Termasuk menyatakan arah yang berlawanan:  utara selatan, timur barat, atas bawah, depan belakang.  Relasi ini biasanya dinyatakan dengan mempergunakan kata yang berlainan dalam kontruksi kalimat yang sama:  Ali menjual seekor sapi pada Tono Tono membeli seekor sapi dari Ali; Ayah memberi anaknya sebuah rumah Anak menerima dari ayahnya sebuah rumah; Tono adalah orang tua dari Tini Tini adalah anak dari Tono; Yono adalah suami dari Titi Titi adalah istri dari Yono, dan sebagainya.
(6)    Oposisi Hirarkis:  adalah oposisi yang terjadi karena tiap istilah menduduki derajat yang berlainan.  Oposisi ini sebenarnya sama dengan oposisi majemuk, namun di sini terdapat suatu kriteria tambahan yaitu tingkat.  Termasuk dalam kelas ini adalah:  perangkat ukuran, penanggalan.  Misalnya:  milimeter centimeter desimeter meter, dan seterusnya, inci  kaki yard, gram desigram kilogram; Januari Febuari Maret April, dan sebagainya.
(7)    Oposisi Inversi:  oposisi yang terdapat pada pasangan kata seperti:  beberapa semua, mungkin wajib, boleh harus, tetap menjadi.  Pengujian utama mengenai oposisi inversi ini adalah apakah ia mengikuti kaidah sinonim yang mencakup  (a)  penggantian suatu istilah dengan yang lain, dan  (b)  mengubah posisi suatu penyangkalan dalam kaitan dengan istilah yang berlawanan.  Misalnya:
  Beberapa negara tidak memiliki pantai”  sinonim dengan:  Tidak semua negara memiliki pantai”.
  Semua kucing bukan kerbau” sinonim dengan:  Tak ada kucing adalah kerbau”.
  “ Kita diharuskan untuk tidak menjadi perokok  =  Kita tidak diperbolehkan menjadi perokok.
  “Kakak tidak menjadi perokok  =  Kakak tetap bukan perokok.

Unsur Stilistika
Stilistika secara etimologis merupakan hubungan kata stylistics dengan kata style, artinya ilmu tentang gaya. Stilistika merupakan ilmu pemanfaatan bahasa dalam suatu karya sastra. Menurut Kridalaksana (1983:157)   mengemukakan bahwa stilistika (stylistics) adalah (1) ilmu yang menyelidiki bahasa yang dipergunakan dalam karya sastra; ilmu interdisipliner antara linguistik dan kesustraan; (2) penerapan linguistik pada penelitian gaya bahasa . 

Berdasarkan pengertian di atas dapat diringkas demikian: stilistika adalah ilmu tentang gaya (bahasa).  Stilistika itu sesungguhnya tidak hanya merupakan studi gaya bahasa dalam kesusastraan, tetapi juga dalam bahasa pada umumnya.  Di samping itu  stilistika merupakan bagian dari linguistik yang memusatkan perhatiannya pada variasi penggunaan bahasa, terutama bahasa dalam kesusastraan.
Telah dikatakan bahwa stilistika adalah ilmu tentang gaya bahasa (style).  Dari definisi tersebut kemudian muncul pertanyaan: apakah gaya bahasa?  Gaya bahasa adalah (1) pemanfaatan kekayaan bahasa oleh seseorang dalam bertutur atau menulis; (2) pemakaian ragam tertentu untuk memperoleh efek tertentu; (3) keseluruhan ciri bahasa sekelompok penulis sastra (Kridalaksana, 1983:49-50).  Dalam buku On Defining Style, Enkvist (Junus, 1989:4) mengatakan bahwa gaya adalah (1) bungkus yang membungkus inti pemikiran yang telah ada sebelumnya; (2) pilihan antara berbagai-bagai pernyataan yang mungkin; (3) sekumpulan ciri pribadi; (4) penyimpangan norma atau kaidah; (5) sekumpulan ciri kolektif; dan (6) hubungan antarsatuan bahasa yang dinyatakan dalam teks yang lebih luas daripada kalimat.
Penelitian stilistika berdasar asumsi bahwa bahasa sastra mempunyai tugas mulia. Bahasa memiliki pesan keindahan dan sekaligus membawa makna. Tanpa keindahan bahasa, tentunya karya sastra hanya akan menjadi ambar. Keindahan dipengaruhi oleh kreatifitas penulis dalam meracik kata-kata. Di sini bahasa akhirnya menjadi wahana khusus ekspresi kata.

Seperti diketahui bahwa stilistika dapat menjadi “jembatan” yang menghubungkan antara kritik sastra di satu pihak dan linguistik di pihak lain.  Hubungan itu tercipta karena stilistika mengkaji wacana sastra dengan orientasi linguistik.  Stilistika mengkaji wacana sastra dengan orientasi linguistik.  Stilistika mengkaji cara sastrawan dalam menggunakan unsur dan kaidah bahasa serta efek yang ditimbulkan oleh penggunaannya itu.  Stilistika meneliti ciri khas penggunaan bahasa dalam wacana sastra, ciri yang membedakannya dengan wacana nonsastra, dan meneliti deviasi terhadap tata bahasa sebagai sarana literer.  Atau dengan kata lain, stilistika meneliti fungsi puitik bahasa (Sudjiman, 1993:3).
Secara umum, lingkup telaah stilistika mencakup diksi atau pilihan kata (pilihan leksikal), struktur kalimat, majas, citraan, pola rima, dan matra yang digunakan seorang sastrawan atau yang terdapat dalam karya sastra (Sudjiman, 1993:13-14).  Atau, aspek-aspek bahasa yang ditelaah dalam studi stilistika meliputi intonasi, bunyi, kata, dan kalimat sehingga lahirlah gaya intonasi, gaya bunyi, gaya kata, dan gaya kalimat (Pradopo, 1995:10).
Menurut Pradopo (1995: 72), nilai estetik suatu karya sastra ditentukan oleh gaya bahasanya. Kemahiran penyair dalam bermain di dunia stilistika, menunjukkan kemahiran dan besarnya kreatifitas sang penyair. Gaya bahasa sebagai media dalam stilistika, merupakan efek seni dalam karya sastra yang terpengaruh kuat oleh nurani sang penyair. Melalui gaya bahasa itulah penyair kemudian meluapkan ekspresinya. Betapa pun senang atau sedihnya dia, melalui gaya bahasa, karya sastra yang penulis buat akan tetap bernilai seni.

Dalam studi stilistika, kemungkinan cara pendekatan yang terdapat digunakan ada dua macam, yaitu (1) menganalisis sistem linguistik karya sastra yang dilanjutkan dengan interpretasi ciri-cirinya dilihat dari tujuan estetis karya sastra sebagai makna total, dan (2) mengamati deviasi dan distorsi terhadap pemakaian bahasa yang normal (dengan metode kontras) dan berusaha menemukan tujuan estetisnya (Wellek dan Warren, 1990:226).  Meskipun berbeda titik pijaknya, pendekatan kedua itu pada dasarnya tidak bertentangan dengan pendekatan pertama.

Pengertian tentang stilistika, gaya bahasa, dan lingkup telaahnya dalam makalah ini tidak akan disajikan secara panjang lebar, tetapi hanya diuraikan secara ringkas.  Maksudnya adalah agar studi ini tidak terkesan teoritis, tetapi lebih sebagai telaah praktis.  Oleh karena itu, setelah pengertian stilistika, gaya bahasa, dan lingkup telaahnya diuraikan secara ringkas, pembahasan langsung masuk ke aspek-aspek stilistik cerpen “Dinding Waktu, Cincin Kawin, dan Kartu Pos dari Surga”.  Aspek stilistik (gaya bahasa) yang dianalisis pun tidak mencukupi keseluruhannya, tetapi hanya dibatasi pada aspek yang dominan.

Gaya, Suasana dalam Cerpen

Pengertian Makna Leksikal
Makna leksikal adalah makna yang tetap tidak berubah-ubah sesuai dengan makna yang ada di kamus.
Contoh :
- toko
- obat
- mandi

Gaya
Cerita fiksi akan nenarik bila disajikan dengan gaya yang khas, artinya gaya yang mandiri dan tidak menjemukan. Jadi, seorang pengarang harus memiliki gaya untuk merangsang pembaca, memainkan perasaan pembaca, membawa suasana emosi pembaca, sehingga pembaca benar-benar terpikat. Sebuah cerpen akan menarik itu tergantung bagaimana pengarang memainkan ceritanya dengan gaya yang dimilikinya, sehingga pembaca berselera untuk membacanya. Aminuddin (1987:72) mengatakan: “Gaya mengandung pengertian cara seorang pengarang menyampaikan gagasannya dengan menggunakan bahasa indah dan harmonis serta mampu menuansakan makna dan suasana yang dapat menyentuh daya intelektual dan emosi pembaca.“
Istilah gaya diangkat dari istilah style yang berasal dari bahasa Latin stilus dan mengandung arti leksikal adalah alat untuk menulis. Menurut Sumardjo (1986:92) bahwa gaya adalah cara khas pengungkapan seseorang. Cara bagaimana seseorang pengarang memilih tema, persoalan, meninjau persoalan dan menceritakan dalam sebuah cerpen. Dengan kata lain gaya adalah pribadi pengarang itu sendiri.
Suasana
Seorang cerpenis mampu menggerakkan batin pembacanya bila suasana dalam cerpen ditata dan harmonis dengan konteks cerita, sudah pasti semua cerpen memiliki suasana. Sumardjo dan Saini (1986: 109) mengatakan: “Suasana dalam cerita pendek membantu menegaskan maksud pengarang, disamping itu suasana juga merupakan daya pesona sebuah cerita.” Jadi, dalam cerita pendek itu pengarang pasti menata ceritanya, terutama dengan suasana yang diciptakannya. Misalnya suasana tokoh dalam kesedihan, gembira, atau kalut. Suasana lain pun akan dilukiskan pengarang menurut waktu saat itu, misalnya tengah malam, sore, pagi, siang, dan sebagainya.
PEMBAHASAN
Judul Cerpen          : Dinding Waktu
Pengarang               : Danarto

Danarto, dalam karya-karya cerpennya, tampaknya memiliki gaya yang khas dalam memanipulasi atau memanfaatkan sarana bahasa sebagai media ekspresinya.  Pilihan kata (diksi, pilihan leksikal), kelompok kata (frase), dan kalimat-kalimatnya terasa sangat sesuai dengan “tema-tema besar” yang dikemukakannya.  Atau sebaliknya, gagasan-gagasan yang ditampilkan Danarto terasa lebih eksplisit karena didukung oleh penggunaan bahasa yang tepat (tepat  artinya tidak harus benar).  Karena itu, sarana bahasa yang dimanfaatkannya seiring dengan implikasi yang besar terhadap gambarannya tentang peristiwa, tokoh, latar, dan sarana-sarana sastra lainnya.

Ketika membaca cerpen “Dinding Waktu”, segera terasa bahwa pembaca dihadapkan pada suatu “dunia” yang aneh, “dunia” yang ganjil.  Keanehan dan keganjilan itu tidak hanya dijumpai pada saat membaca judul yang terdiri atas dua kata (dinding  dan waktu) yang secara gramatik dan semantik menyimpang dari konvensi, tetapi juga sampai pada kalimat-kalimat terakhir cerpen.  Menurut kaidah bahasa yang lazim, kata dinding dan waktu tidak pernah dapat disatukan karena yang pertama bersifat konkret (sesuatu yang dapat ditentukan batasnya) dan yang kedua bersifat abstrak (yang tidak dapat ditentukan batas-batasnya).  Karena itu, keduanya menyimpang baik secara gramatik maupun semantik, yang dalam istilah stilistika disebut gaya bahasa anomali.

Kendati demikian, dua kata terpisah yang disatukan itu justru melahirkan efek tertentu, yaitu merujuk pada “kebenaran” bahwa sesungguhnya antara yang nyata dan yang tidak nyata (konkret dan abstrak) tidak dapat dipisahkan secara jels atau tidak memiliki batas yang tegas.  Artinya, secara  nyata (konkret) itu dapat dikatakan tidak nyata (abstrak) karena memang tidak ada sesuatu pun yang abadi (kecuali Tuhan, Zat tertinggi); dan sebaliknya, tidak nyata itu pun sesungguhnya merupakan kenyataan bahwa itu tidak nyata.  Hal tersebut tampaknya memang aneh dan ganjil, tetapi memang demikianlah pandangan mistisisme.

Dalam kaitannya dengan itu, agaknya pilihan kata pada judul tersebut menjiwai isi cerpen secara keseluruhan (total).  Jika dieksplisitkan, isi cerpen itu barangkali dapat diabstraksikan dengan kata-kata seperti ini: dalam kefanaan ada kekelan, dalam keabadaian ada kesementaraan, dalam mati kita hidup, dan dalam hidup kita mati. Pernyataan semacam itu oleh pengarang telah ditampilkan secara tersurat dalam sebuah kalimat (bagian akhir seperti berikut.
“...Dia memusnahkan tubuhnya supaya mudah menuju kekekalan, untuk menjadi pemenang abadi...”

Apabila diamati lebih lanjut, dalam gambaran “dunia” yang aneh dan ganjil itu – sebagaimana terkristal pada judul cerpen yang aneh dan ganjil itu pula -, keanehan dan keganjilan itu semakin terasa dalam karena secara analitik pengarang membangun ide-ide transedentalnya (dalam uraian isi) dengan sarana linguistik yang mengandung intensitas yang tinggi.  Intensitas yang tinggi itu tidak hanya tampak pada pemanfaatan kata atau frase yang berulang-ulang (repetisi), tetapi juga pada sarana-sarana retoris yang berlebihan (hiperbol), ungkapan-ungkapan yang padat (asindeton), pernyataan yang bertentangan (oksimoran), dan kiasan yang menginsankan atau menghidupkan benda-benda mati (personifikasi).  Untuk lebih jelasnya dapat diamati kutipan paragraf pertama berikut.
“Dalam peperangan yang sudah berlangsung selama seribu tahun itulah saya menjumpai seorang seonggok batu besar di tengah-tengah medan pertempuran.  Saya yang telah memfosil, tua renta, dengan sisa-sisa tenaga dalam usia 1350 tahun, berlindung di balik batu besar itu dari tembakan, semburan api, maupun ledakan bom.  Saya bukan tentara, bukan pula wartawan, melainkan penonton biasa.  Penonton perang.  Ya, sayalah penonton perang yang fanatik dari zaman ke zaman.  Sejak berabad-abad yang silam ketika untuk menikmati tontonan pertandingan sepakbola yang indah memerlukan kekejaman, ....”

Dalam kutipan tersebut (kalimat pertama dan kedua) tampak jelas ada sesuatu yang sangat dilebih-lebihkan (hiperbola), aneh, dan ganjil, karena selamanya belum pernah ada (walaupun menurut sejarah) perang mitos wayang.  Kalaupun ada, jelas bahwa hal itu hanya ada dalam bayangan, secara imajiner saja.  Di samping itu, tokoh yang berinisial saya yang telah memfosil, tua renta, dan berusia 1350 tahun itu juga merupakan sesuatu yang sangat berlebihan karena sepanjang sejarahnya tidak pernah ada manusia yang berusia setua itu, apalagi telah memfosil tetapi dapat hidup segara bugar.

Dalam kaitan itulah, dapat ditafsirkan bahwa tokoh saya dalam cerpen itu bukan merupakan manusia atau personal biasanya seperti yang dipertegas oleh adanya repetisi (bukan dan penonton perang) seperti tampak dalam kalimat tiga, empat, dan lima, melainkan merupakan subjek tertentu yang menghadapi objek yang berupa pe(perang)an itu.  Oleh karena subjek pada berubah fungsi, dan peperangan (objek) juga selamanya merupakan bentuk konkret dari kekejaman, yang setiap saat dapat terjadi, sejak berabad-abad yang silam, maka saya yang berfungsi sebagai subjek itu pun akhirnya justru merasakan peperangan sebagai tontonan yang indah bagai tontonan sepak bola.  Karena itu, tepatlah pemanfaatan gaya bahasa oksimoron seperti tampak dalam kalimat keenam yang berbunyi yang indah memerlukan kekejaman itu.

Keganjilan, keanehan, dan ketidakjelasan batas antara yang nyata dan yang tidak nyata seperti yang telah dinyatakan di atas semakin tampak eksplisit jika diamati kutipan paragraf kedua berikut.

Jutaan mayat tentara bertumpuk makin mempertinggi dataran pertempuran.  Onggokan rongsokan mesin-mesin perang telah pernah menjadi gunung.  Lembah dan danau dibentuk oleh ledakan-ledakan bom.  Dan bukit-bukit patung berbagai bentuk diciptakan oleh pesawat-pesawat yang menghujam bumi, ratusan ribu jumlahnya.  Dan sepasang mata yang tak lelah-lelahnya ini menikmati dengan rasa kekudusan yang dalam seluruh palangan, medan pertempuran, yang amat sangat haus dasar itu.  Lewat mata, pikiran ini telah merekam segala emosi tradisi perang yang sangat panjang, menjalar-jalar di saraf-saraf zaman.  Mengakibatkan tiap bangsa memperpanjang waktu memperjuang ruang.”

Kalimat pertama dan kedua di atas jelas mengandung sesuatu yang berlebihan (hiperbol).  Suasana perang semakin mengerikan karena mayat korban perang tak terhitung lagi jumlahnya, pokoknya jutaan, sehingga makin mempertinggi dataran pertempuran.  Kata makin dalam kalimat pertama itu mengindikasikan bahwa perang tidak pernah usai, tetapi terus bergelora, sehingga mesin-mesin rongsokan bekas senjata perang pun bertumpuk menjadi gunung (kalimat kedua).  Berapa ribukah jumlah mesin perang sehingga rongsokannya bertumpuk menjadi gunung?  Pikiran kita juga bertanya seberapa besarkah bom-bom yang diledakkan sehingga mampu membentuk lembah danau?  (kalimat ketiga).  Agaknya ini merupakan suatu penanda bahwa sebenarnya hidup ini tidak lain adalah suatu keganjilan, suatu keanehan, karena ternyata masih banyak hal yang selamanya misterius, masih banyak yang sama sekali tidak dapat kita ketahui.  Namun, itu tampaknya merupakan isyarat bahwa sesungguhnya manusia adalah makhluk yang sangat terbatas.

Keganjilan di atas pun semakin tinggi frekuensinya karena adanya kata ulang yang bertubi-tubi (mesin-mesin, ledakan-ledakan, bukit-bukit, pesawat-pesawat, tak lelah-lelahnya, menjalar-jalar di saraf-saraf).  Kata-kata ulang itu menunjukkan jamak, yang berarti menunjukkan pula bahwa perang yang dipersonifikasikan sebagai amat sangat haus darah itu tidak pernah berhenti, tetapi jalan terus susul-menyusul.  (Kata ulang yang bertubi-tubi muncul juga dalam paragraf yang dimulai dengan ledakan-ledakan pun susul-menyusul ....).  karena itu, sangat tepat jika di akhir paragraf kedua itu muncul repetisi (memperpanjang waktu, memperpanjang ruang) yang menunjukkan bahwa subjek atau manusia-lah yang sebenarnya berperan utama; dalam arti bahwa kehancuran manusia itu sesungguhnya diciptakan oleh manusia dan untuk manusia sendiri.

Kalau diamati, pernyataan terakhir itu berkaitan erat dengan ungkapan pada paragraf berikutnya yang menggambarkan sifat ambisius manusia, makhluk yang tidak abadi dan tidak kekal ini.  Karena itu, perang dijadikan sebagai arena judi yang hasil kemenangannya pun hanya untuk diri sendiri.  Hasil (hadiah) yang ditawarkan sangant menggiurkan, yaitu seperti yang dilukiskan dengan gaya bahasa asindeton berikut (uang, perusahaan, manusia, binatang, atau apa saja yang diperjudikan).  Gaya bahasa yang berupa paralelisme, repetisi, dan asindeton yang lebih mempertegas sifat-sifat kefanaan manusia tampak jelas dalam kutipan berikut (paragraf ketiga).
“...Peserta penonton ini terdiri dari berbagai lapisan sosial. Kebanyakan para jutawan.  Di antaranya para pedagang, pengusaha, konglomerat, para pangeran, raja, bahkan ada juga ratu.  Jika sepi perang, kami penonton menyelenggarakannya, mengongkosinya, dan mengakhirinya.  Tragedi dan kebahagiaan cumalah bikinan-bikinan belaka”.

Kalimat terakhir yang mengandung gaya bahasa sinisme atau bahkan sarkasme tersebut menunjukkan – seperti telah dikemukakan di depan perang yang identik dengan kekejaman itu sesungguhnya hanyalah diciptakan oleh dan untuk manusia sendiri (yang dalam cerpen ini adalah penonton, saya, kami).  Karena itu, perang dan kekejaman akhirnya dirasakan bukan lagi sebagai suatu yang naif, melainkan sebagai hal yang biasa.  Bahkan, jika tidak ada perang, manusia seolah merindukannya (menyelenggarakan, mengongkosi, mengakhiri, dan seterusnya), ingin menikmati betapa eloknya perang, betapa menggairahkannya perang.  Hal demikian misalnya secara eksplisit terlukis di dalam kalimat yang mengadung gaya bahasa oksemoron berikut (paragraf empat).

“...Angkasa penuh peluru berseliweran, bumi kejatuhan bom berledakan.  Betapa eloknya kekejaman, betapa nikmatnya keporakporandaan”.
“...diam rapat-rapat menutup mulut untuk meresapi suara-suara simfoni perang yang menggairahkan”.

Demikian antara lain variasi bahasa yang digunakan Danarto secara analitik dalam cerpen “Dinding Waktu” yang berlatarbelakang perang itu.  Gaya bahasa hiperbol, repetisi, asindeton, dan oksimoron dimanfaatkan sebagai penambah dan penyangat intensitas ketegangan sehingga terciptalah “jarak” yang tak terbatas dalam hal waktu dan ruang, atau dalam hal masa kini, masa lalu, dan masa depan.  Karena itu, “saya” yang nyata (sebagai penonton perang) dan yang tidak nyata (sebagai subjek) pun tidak dapat diketahui batasnya.  Dalam diri aku (manusia) mungkin telah tercipta semacam oposisi biner yang tak terelakkan: jauh-dekat, mati-hidup, tunggal-ganda, masa lalu-masa kini, masa kini-masa depan, keutuhan-keterpecahan, nyata-tidak nyata, terbatas-tidak terbatas, abadi-tidak abadi, dan seterusnya.

Apa yang tersirat dalam dimensi-dimensi oposisional itulah yang mengindikasikan bahwa apa saja yang ada di “dunia” ini sebenarnya serba mungkin, entah itu mungkin dalam tingkat ideal (dunia ide) ataupun tingkat empirik (dunia nyata).  Karena itu, tidak mengherankan jika dalam cerpen “Dinding Waktu” Danarto menciptakan tokoh ibu yang telah ditinggal mati oleh tujuh puluh anaknya dan mampu menjelma menjadi batu.  Walaupun sudah menjadi batu, si ibu yang batu itu masih sangat lancar berdialog dengan saya  si penonton perang.  Penginsanan (personifikasi) batu seperti layaknya manusia (yang mampu berbicara dan bahkan merasa sangat bahagia setelah berhasil beralih bentuk menjadi batu) itu tampak eksplisit dalam kalimat-dramatik sejak pertengahan sampai akhir cerita.

Hanya sekedar contoh, perhatikan kalimat-kalimat personifikatif dalam kutipan-kutipan berikut.

Sudah puaskah kalian menonton?” Tiba-tiba satu suara terdengar.  Kami terkejut.  Kami bertolehan ....
“Saya belum puas menonton, sebelum ribuan tahun menonton,” jawab saya sekenanya sambil mendongak ....
“Suara ini datang dari bongkahan yang sedang melindungimu”. Mendengar suara ini, kami jadi ribut ....”
“Siapa Anda dan kenapa teronggok di sini?” Kamera-kamera pun berebut tempat.
“Sesungguhnya saya seorang ibu ...” jawab batu itu.
“Seorang ibu yang batu?” potong seorang wartawan ....
“Saya seorang ibu dari tujuh puluh anak.  Laki-laki lima puluh dan perempuan dua puluh.  Semuanya sudah musnah dalam peperangan seribu tahun ini.  Yang laki-laki gugur satu per satu sebagai pejuang.  Yang perempuan gugur sebagai perawat, satu per satu di garis paling depan”.

Di samping memanfaatkan kalimat-kalimat personifikatif seperti di atas, dalam cerpen ini Danarto juga mempergunakan gaya humor, misalnya tampak dalam kutipan (bagian akhir cerita) berikut.

“Para wartawan itu tertegun.  Lalu beramai-ramai mereka berteriak:
“Ibu, jadikan kami batu.”
“Jadilah!” seru ibu batu itu.
Dan mendadak para wartawan itu menjelma batu, teronggok dingin dan diam ....
“Ibu batu itu tidak sportif!” teriak salah satu penonton.
Dia harus dikenai kartu merah!
“Dia penonton berbahaya ....”

Dalam suasana perang itu kalimat Dia harus dikenal kartu merah sangat tidak sesuai dengan konteksnya karena kalimat itu hanya ada dalam konteks permainan sepak bola.  Akan tetapi, kalimat tersebut ternyata memiliki efek tertentu yang menakjubkan yang berfungsi sebagai humor untuk mengendorkan frekuensi ketegangan.  Hal semacam inilah yang merupakan salah satu ciri khas Danarto dalam bercerita kepada pembaca.  Di saat-saat tertentu ia sering mengajak pembaca untuk berolah pikir secara serius, tetapi di saat lain ia tidak pernah lupa memberikan surprising-nya (kejutan).


Judul Cerpen          : Cincin Kawin
Pengarang               : Danarto

Sebagai seorang penulis cerpen, Danarto terampil dalam mendeskripsikan suatu peristiwa tertata secara runtut dengan memanfaatkan beberapa gaya bahasa seperti, gaya bahasa klimaks, simile, dan menggunakan kata simbolis cara kerja langit untuk merujuk pada Sang Pencipta.
Ketika Ibu mendapatkan cincin kawinnya berada di dalam perut ikan yang sedang dimakannya, seketika Ibu terkulai di meja makan, pingsan. Lalu koma sekitar satu minggu, kemudian Ibu meninggal dunia. Sejak saat itu sejarah hidup keluarga kami diputar ulang. Seperti digelar di kamar keluarga, juga di pekarangan belakang rumah, hari demi hari diperlihatkan malaikat betapa cara kerja langit tak mempunyai patokan. Tak dapat di tebak. Tak terduga. (hal 36).

Kesan estetis yang tinggi, juga dimunculkan melalui penggunaan konotasi mengarungi pemandangan, dalam kutipan berikut:
Dalam mengarungi pemandangan yang terbentang di hadapan, kami tak tahu benar apakah itu pemandangan alam atau lukisan pemandangan alam di atas kanvas. (hal 36).

Kata-kata dibentuk dalam sebuah repetisi dalam bentuk anafora yang berwujud perulangan kata pertama dalam sebuah konstruksi kalimat, serta menggunakan kata-kata yang bermuatan simbolis yaitu rambu-rambu lalu-lintas yang merujuk pada tatanan,  norma kehidupan.
Pemandangan indah, pemandangan suram, semua disajikan kepada kami. Kami harus jujur, kami sekeluarga bukan kumpulan orang-orang baik tapi kami mematuhi rambu-rambu lalu-lintas. (hal 36).

Menggunakan repetisi dengan memanfaatkan keterangan syarat jika untuk menyatakan pilihan, serta menggunakan kata kias harga mati, yang merupakan suatu takdir yang tak bisa ditolak.
Jika kami bongkar, apa satpam tidak marah? Jika tidak kami bongkar, kami megap-megap. Tapi  itulah harga mati dari rantai  yang sudah terlanjur bergandengan. (hal 37).

Menggunakan perbandingan seakan nama, watak, kelakuan dapat berputar-putar bagaikan mahluk hidup tersaji dalam personifikasi yang estetis.
Nama, watak, kelakukan, pikiran, emosi, keberuntungan, dan nasib jelek, berputar-putar di dalam di dalam kubangan rajah tangan yang sudah di cetak di dalam KTP yang tersimpan dalam segel laminasi dengan warna emas. (hal 36).

Menggunakan kata-kata yang berkontradiksi atau berlawan arti untuk menegaskan maksud seperti yang tampak pada kata-kata  hari yang mendidih walau hujan sehari-harinya,  yang hitam pekat oleh bara.
Hari itu hari yang mendidih. Walau hujan sehari-harinya. Desember yang hitam pekat oleh bara yang menganga telah membayangi hidup kami sekeluarga setiap detiknya. (hal 37)

Menggunakan kata-kata yang berparalel dengan menggunakan kata-kata yang memiliki kesejajaran, yaitu pada kata  menggigil kedinginan, serta terdapat pleonasme dengan menggunakan kata  mata saya mengintip dilanjutkan dengan penempatan personifikasi hujan lebat yang tak mau tahu.

Mereka basah kuyup menggigil kedinginan oleh hujan dan kepanasan oleh hantu yang mengintip dari balik kancing baju mereka. (hal 37).

Ketika itu mata saya mengintip dari balik semak dalam hujan lebat yang tak mau tahu. (hal 37)

Pengarang mampu mengisahkan kesan yang horor, yang mengerikan ketika leher-leher manusia ditinggalkan kepalanya akibat dieksekusi dengan pedang yang tajam, semua dikemas dalam gaya bahasa pleonasme; mata saya mengintip, personifikasi; hujan lebat yang tak mau tahu, pars pro toto, sebuah sinekdoke yang menggungkapkan sebagian untuk keseluruhan, yaitu dengan kalimat,  Mata yang berumur sekitar dua puluh delapan tahun, untuk menyebutkan seseorang dalam hal ini pengarang sendiri; dan Saya menyaksikan leher orang ....merupakan bentuk pars pro toto. Di samping itu juga menggunakan paralelisme dengan menempatkan kata dalam sebuah kalimat yang sejajar, yaitu pada Mata yang berumur.... Mata yang menatap tajam....
Ketika itu mata saya mengintip dari balik semak dalam hujan lebat yang tak mau tahu. Mata yang berumur sekitar dua puluh delapan tahun. Mata yang menatap tajam tajam di antara tetesan hujan deras itu. Saya menyaksikan satu per satu dari leher orang-orang yang duduk termangu-mangu setelah disambar kilatan putih menyemburkan cairan merah dengan deras ke udara. (hal 37)

Pengarang menggunakan kata saya yang menyiratkan kepada kita bahwa isi cerita merupakan bagian dalam kehidupannya. Kata saya muncul dalam kalimat-kalimat ini:
Ketika itu mata saya mengintip dari balik semak dalam hujan lebat yang tak mau tahu........ Saya menyaksikan satu per satu dari leher orang-orang yang duduk termangu-mangu setelah disambar kilatan putih menyemburkan cairan merah dengan deras ke udara. Saya yang menggigil  dalam hujan penuh gelek.... (hal 37)
Penulis juga menggunakan hiperbola, yaitu dengan menyatakan maksud secara berlebihan, tampak pada kalimat:
Para petugas  yang telah melaksanakan perintah itu, dalam keadaan basah kuyup berlarian  dengan pedang yang telanjang berkilatan oleh cahaya petir, menuju sejumlah truk yang telah kosong, lalu tancap gas meninggalkan kawasan itu. Dengan menjerit-jerit  memanggil Ayah, saya yang mengggigil dalam hujan penuh geledek menyambar-nyambar ....(hal 37)

Pengarang  di samping menggunakan simile dalam pengisahannya juga menggunakan kata uap dan megap-megap. Kata-kata tersebut selain memiliki rima yang sama juga menimbulkan makna bahwa pekerjaan pencarian jenazah dilakukan dengan usaha keras namun hasilnya sia-sia.
Lalu saya terjun ke sungai berusaha keras mencari jenazah Ayah. Saya menyembul dan menyelam di antara jenazah-jenazah, mencoba mengingat kembali baju apa yang dipakai Ayah. Rasanya seperti mencari jarum di tumpukan jerami. Hujan yang sangat deras menyebabkan  permukaan air sungai  penuh uap. Saya megap-megap. (hal 38).
Pengarang menyatakan suatu kepedihan, suatu penderitaan yang  sangat klimaks dengan menggunakan rima kata mayat-mayat dan menyayat-nyayat, mayat-mayat, puluhan, ratusan ribu serta menggunakan hiperbola
Mayat-mayat embun,  taruhlah dinampan, jadi hidangan suci dari bau tangan yang gatal. Menyayat-nyayat  dada, menyayat-nyayat air liur yang dijilati petir. Mayat-mayat yang menyembunyikan nama, watak, kelakuan, pekerjaan, emosi. Mayat-mayat, puluhan, ratusan ribu, carilah dalam map dari para pencari data. Para pencari data yang berdatangan dari seantero dunia. (hal 38).

Kami bertiga menangis dengan air mata yang menusuk-nusuk ulu  hati (hal 39)

Penggunaan rima dalam pemakaian kata tampak juga dalam pasangan kata-kata berikut: teror–horor; kecebur–hancur; bertahan–berantakan seperti:

Beberapa bulan kemudian merupakan hari-hari teror  dan horor menghantui kami karena  pada waktu dini hari kami sering terbangun dari tidur terkaget-kaget oleh gedorang orang-orang.  .......Sungguh saya tidak bisa mengerti mengapa kami kecebur dalam kubangan begini rupa tetapi kami harus bertahan atau kami hancur bertahan atau kami hancur berantakan. (hal 39).

Pengarang menggunakan kata digondheli yang menyatakan arti  dipegang secara erat-erat jangan sampai terlepas dalam kalimat:

Hari-hari yang mengerikan itu sering mendorong nyawa kami sampai di tenggorokan. Nyawa yang digondheli rada sekuat-kuatnya. Supaya tidak terlepas. Supaya tetap betah menghuni di dalam tubuh kami dalam keadaan sengeri apa pun. Duh, raga, gondheli-lah nyawa.   (Hal 39).

Judul Cerpen          : Kartu Pos dari Surga
Pengarang               : Agus Noor

Cerpen yang berjudul Kartu Pos dari Surga yang ditulis oleh Agus Noor ini jika dilihat dari segi leksikalnya, banyak menggunakan kosa kata atau bahasa percakapan yang diwarnai oleh unsur daerah. Penulis dalam menggunakan kosa kata lebih mengedepankan  fungsi komunikatifnya daripada kebakuan leksikal yang digunakannya. Penulis banyak menggunakan kosa kata tidak baku, seperti: malah, tapi, kepleset, udah, nanya, ndak, gampang, sempet nganter, bubaran, enggak, anter Beningnya enggak, emang,  ngambil, dan ketimbang. Kata-kata tersebut  terdapat pada beberapa kutipan di bawah ini:
1)           Tapi gadis kecil itu malah mempercepat larinya. Seperti capung ia melintas halaman (hal. 1).
2)           Tapi memang tak ada (hal. 1).
3)           Ia nyaris kepleset dan menabrak pintu (hal. 1).
4)           ”Kartu posnya udah diambil Bibik, ya?” (hal. 1).
5)           ”Sekarang setiap pulang, Beningnya selalu nanya kartu pos...,” (hal. 2).
6)           ”Saya ndak tahu mesti jawab apa....,” (hal. 2).
7)           Memang tak gampang menjelaskan semuanya pada anak itu (hal. 2).
8)           ”Mungkin Pak Posnya lagi sakit. Jadi  belum sempet nganter kemari .... ” (hal. 2).
9)           Sekolahnya memang mengharuskan setiap murid punya hand phone agar bisa dicek sewaktu-waktu, terutama saat bubaran sekolah, ..... (hal. 2).
10)       Ren  sejak kanak sering menerima  kiriman kartu pos dari ayahnya yang pelaut. (hal. 3).
11)       Enggak bisa tidur, ya? Mo tidur di kamar Papa?” (hal. 4).
12)       Besok Papa bisa anter Beningnya enggak?” tiba-tiba anaknya bertanya. (hal. 4).
13)       ”Kalu emang Pak Posnya sakit biar besok Beningnya aja yang ke rumahnya, ngambil kartu pos dari Mama.” (hal. 4).
14)       Tetapi rasanya jauh lebih mudah menenangkan Beningnya dari tangisnya ketimbang harus menjelaskan bahwa pesawat Ren jatuh ke laut dan mayatnya tak pernah ditemukan. (hal. 6).
Selain itu penulis menggunakan kata lagi sebanyak dua kali sebagai unsur penegas. Hal ini tampak pada kutipan berikut:
1)           Mobil jemputan sekolah belum lagi berhenti (hal. 1).
2)           Mobil jemputan belum lagi berhenti ketika Marwan melihat Beningnya meloncat turun. (hal. 5).

Penulis tampak piawai dalam menggunakan pasangan kata  yang berparalel, seperti: mengelus lembut, menyenangkan dan membanggakan, serta bukit karang yang menjulang. Kata-kata ini terdapat pada kutipan berikut:
1)           Lalu ia mengelus lembut anaknya. (hal. 2).
2)           ”Itulah saat-saat menyenangkan dan membanggakan punya ayah pelaut.” (hal. 3).
3)           Gambar di dinding goa. Bukit karang yang menjulang. Semua itu tampak menjadi lebih indah ..... (hal. 4).

Penulis begitu banyak menggunakan partikel –nya sebagai penegas, yang seharusnya sebagai posesif. Partikel –nya  dipergunakan berkali-kali untuk mempertegas  nama seorang anak yaitu Bening.  Partikel ini tampak begitu dominan pada kutipan berikut:

1)                 Beningnya langsung meloncat menghambur (hal 1).
2)                 Beningnya tertegun , mendapati kotak itu kosong (hal. 1).
3)                 Beningnya pun segera berlari berteriak, ”Biiikkk..., Bibiiikkk.... (hal. 1).
4)                 ”Sekarang setiap pulang, Beningnya selalu nanya kartu pos...,” (hal. 2).
5)                 Meski  baru play group, Beningnya sudah pegang hape. (hal. 2).
6)                 Aku hanya ingin Beningnya punya kebahagian yang aku rasakan .... (hal. 3).
7)                 Beningnya berdiri sayu menenteng kotak kayu. (hal. 3).
8)                 Besok Papa bisa anter Beningnya enggak?” tiba-tiba anaknya bertanya. (hal. 4).
9)                 Marwan melihat mata Beningnya berkaca-kaca. (hal. 5).
10)             Tetapi rasanya jauh lebih mudah menenangkan Beningnya dari tangisnya ketimbang harus menjelaskan bahwa pesawat Ren jatuh ke laut dan mayatnya tak pernah ditemukan. (hal. 6).
Penulis juga mampu merangkaikan kata-kata sehingga membentuk perumpamaan atau simile yang tertata indah dengan menggunakan kata seperti, bagai . Perumpamaan itu terdapat pada kutipan berikut:
1)                 Tapi gadis kecil itu malah mempercepat larinya. Seperti capung ia melintas halaman   (hal. 1).
2)                 Ren merawat kartu pos itu seperti merawat kenangan. (hal. 3).
3)                 Marwan mendapati sepotong kain serupa kartu pos dipegangi anaknya. Marwan menerima dan mengamati kain itu. Kain kafan yang tepiannya kecokelatan bagai bekas terbakar. (hal. 7).

Selain hal di atas, dalam cerpen ini kata-kata dirangkai sedemikian rupa sehingga mampu menimbulkan nuansa mistik seperti yang terdapat dalam kutipan berikut ini.
1)                 Ketukan gugup di pintu membuat Marwan bergegas bangun. (hal. 6).
2)                 Dua belas lewat, sekilas ia melihat jam kamarnya. ”Ada apa?” Marwan mendapati Bik Sari yang pucat. ”Beningnya.... Bergegas Marwan mengikuti Bik Sari. Dan ia tercekat di depan kamar anaknya. Ada cahaya terang keluar dari celah pintu yang bukan cahaya lampu. Cahaya yang terang keperakan. Dan ia mendengar Beningnya yang cekikikan riang, seperti tengah bercakap-cakap dengan seseorang. Hawan dingin bagai merembes dari dinding. Bau wangi yang ganjil mengambang. Dan cahaya itu makin menggenangi lantai. Rasanya ia hendak terserap amblas ke dalam kamar. (hal. 6).
3)                 Ia melongok ke dalam kamar, tak ada api, semua rapi. (hal. 6).
4)                 ” Tadi Mama datang,” pelan Beningnya bicara. Kata Mama tukang posnya emang sakit, jadi Mama mesti nganter kartu posnya sendiri....” (hal. 7).


KESIMPULAN
Dari seluruh pembahasan akhirnya dapat disimpulkan bahwa cerpen “Dinding Waktu” karya Danarto,  ”Cincin Kawin” karya Danarto, ”Kartu Pos dari Surga” karya Agus Noor,  kaya akan gaya bahasa, baik gaya bahasa berdasarkan struktur kata dan kalimat maupun gaya bahasa berdasarkan langsung tidaknya makna.  Gaya bahasa berdasarkan struktur kata-kata yang secara dominan dimanfaatkan adalah repetisi, klimaks, paralelisme sedangkan gaya bahasa berdasarkan maknanya adalah hiperbol, personifikasi (bersifat kiasan), simile.  Semua gaya bahasa tersebut berfungsi mempertinggi frekuensi suasana yang mendukung karakter dari masing-masing tokoh yang ada dalam ketiga cerpen tersebut. Pengarang mengunakan pilihan leksikal secara tepat dengan memanfaatkan kosa kata yang bernuansa daerah di samping untuk mempertegas alur cerita juga untuk menentukan aspek kultur yang ada dsalam cerpen. Pilihan kata dalam cerpen ”Dinding Waktu” dan ”Cincin Kawin” keduanya karya Danarto memiliki makna yang tinggi, karena kedua cerpen tersebut tergolong dalam cerpen absurd. Sedangkan cerpen ”Kartu Pos dari Surga” karya Agus Noor, menggunakan pilihan kata yang mampu mengilustrasikan kesan yang mistis dalam alur cerita.

DAFTAR PUSTAKA


Aftarudin, Pesu. 1984. Pengantar Apresiasi Puisi. Bandung: PT Angkasa.

Aminuddin. 1987. Pengantar Apresiasi Karya Sastra. Bandung: Sinar Baru.

Danarto, 1990. ”Dinding Waktu” . Dalam Kompas, 21 Januari 1990.

Darma, Budi. 1990. ”Perihal Studi Sastra”. Dalam Basis, Agustus 1990.

Junus, Umar. 1989. Stilistik suatu Pengantar. Kuala Lumpur: Dewan Bahasa dan Pustaka.

Keraf, Gorys, 1985. Diksi dan Gaya Bahasa. Jakarta: Gramedia.

Kridalaksana, Harimurti. 1983. Kamus Linguistik. Jakarta: Gramedia.

Nurgiantoro, Burhan. 1995. Teori Pengkajian Fiksi. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press.

Pradopo, Racmat Djoko. 1995. Beberapa Teori Sastra, Metode Kritik, dan Penerapannnya. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.

Sumarjo, Jakob. 1984. Memahami Kesusastraan. Bandung: Alumni.

Sudjiman, Panuti. 1993. Bungai Rampai Stilistika. Jakarta: Pustaka Utama.

Wellek, Rene dan Austin Warren. 1990. Teori Kesusastraan. Terjemahan Melani Budianta. Jakarta: Gramedia.

Biodata Penulis:
Drs. Supriyono, MM adalah adalah staf pengajar Program Studi Pendidikan Bahasa Indonesia STKIP PGRI Bandar Lampung.

2 komentar:

  1. cerpen nya bagus sekali...cerpen ini sangat menginspirasi saya..

    BalasHapus
  2. Luar biasa ilmu yang diberikan, saat mengerjakan tugas Stilistika, saya diberikan kemudahan dengan adanya halaman ini. terimakasih pak Supriyono.

    BalasHapus